[caption id="attachment_195385" align="aligncenter" width="619" caption="Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana/Admin (Tribunnews/Dany Permana)"][/caption] Kalau ada pejabat tinggi yang paling nampak kebencian dan kemarahannya pada korupsi maka dialah Wamenhukham Denny Indrayana. Saking benci dan marahnya ia pada korupsi sampai-sampai advokat yang menjalankan tugas profesi membela kasus dan menerima honor dari tersangka/terdakwa korupsi disebutnya sebagai "advokat koruptor". Nah, Bung Denny, bagaimana dengan kasus laporan Tim Selamatkan Solo, Selamatkan Jakarta, Selamatkan Indonesia (TS3) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Laporan ini tuduhannya adalah korupsi juga loh. Yakni, Jokowi dituduh melakukan pembiaran terhadap dugaan korupsi yang dilakukan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) dan Kepala DPPKA Solo senilai Rp.10.688.325.000 tahun 2010. Oleh KPK, Jumat (31/8), laporan TS3 tersebut dinyatakan tidak berdasar. Alasannya, pembiaran bukankah kategori korupsi sebagaimana ditentukan oleh UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bagaimana, Bung Denny? Apakah wajar Jokowi dibela oleh advokat jika sampai kasus demikian berlanjut? Hayo jawab! Jangan diam aja. Jawab! Sudah, .... Anda jangan tegang begitu. Ini hanya bercanda saja. Ha-ha-ha. Anda jangan berlagak pilon. Sangat banyak kasus seperti Jokowi ini di mana-mana di Indonesia ini. Jangankan di KPK yang nota bene di Jakarta. Di daerah-daerah yang tidak terlalu hingar tersentuh pemberitaan media, kasus laporan korupsi bernuansa politik demikian bejibun banyaknya. Apalagi menjelang pilkada. Pokoknya, ada tak ada kasus dicari-cari oleh lawan politik. Jika ada yang dinilai "nyerempet" sedikit saja langsung wuzzz! Laporan mencelat ke kantor kejaksaan, kepolisian dan KPK. Lawan politik akan bertepuk girang alang kepalang jika si terlapor sudah dipanggil jaksa. Dipanggil saja jadilah, sudah senang, apalagi kalau sampai ditetapkan sebagai tersangka. Wah, bakalan tepuk tangan tak henti-henti. Bisa diduga status tersangka tersebut segera dikampanyekan untuk menyerang lawan politik. Pada hari H (hari pencoblosan) dan penghitungan suara pilkada, si lawan akan kalah (kadang kalah tipis) walau sebelumnya memiliki kans menang paling besar. Itulah yang diduga kuat dituju oleh TS3. Sudah barang tentu kasus korupsi yang dicari-cari demikian kalaupun sampai juga ke pengadilan, terdakwanya akan dibebaskan oleh majelis hakim. Lalu para aktivis pemberantasan korupsi pada teriak-teriak "si Anu bin Fulan terdakwa korupsi dibebaskan hakim! Ini tidak adil dan melukai hati rakyat...bla bla bla." Apakah disebut "koruptor" juga advokat yang membela tersangka/terdakwa korupsi demikian, Bung Denny? Hayo jawab! Baiklah, kalau Anda tak mau jawab, saya jawab sendiri. Jangankan kasus demikian, kasus yang nyata-nyata tersangkanya tertangkap tangan menyuap saja berhak didampingi advokat. Jika si tersangka tak sanggup bayar honorarium jasa pengacara, maka negara berkewajiban membayari jasa pengacara. Demikian kata undang-undang, karena ancaman pidana pasal yang disangkakan lima tahun ke atas. Lah, jangan dikira tersangka/terdakwa korupsi itu kaya semua. Banyak tersangka korupsi itu yang hanya pegawai rendahan. Kerjanya cuma menyusun-nyusun berkas. Namun karena ia diberi honor Rp.1 juta dengan istilah "upah pungut", "uang perangsang", dll maka yang bersangkutan ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh aparat hukum. Bahkan, cukup sering ditemui di lapangan tersangka korupsi yang sama sekali tidak menikmati uang korupsi serupiah pun (Rp.0). Ia hanya membantu meneken surat, membuat SK, dsb ikutan dijebloskan ke penjara. Mungkin sekali yang ada di otak orang seperti Denny dan sebagian warga yang penuh kebencian dan kemarahan sehingga menghilangkan akal sehat adalah, bahwa tersangka korupsi itu kaya semua. Kalau ada orang ditetapkan sebagai tersangka korupsi lantas bilang, bahwa para advokat pasti berebutan seperti merebutkan permen lolipop terbuat dari emas murni 24 karat! Suatu hari di masa yang lalu seorang janda dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil ditahan oleh kejaksaan dengan sangkaan korupsi. Ia dituduh meminjamkan uang pada atasannya tanpa pencatatan yang jelas dalam pembukuan. Janda tadi adalah seorang sarjana hukum yang ditunjuk sebagai bendahara sebuah instansi---bukan keahliannya tapi ditunjuk juga. Ia kelabakan membuat pembukuan akuntansi. Jaksa tak mau tahu, hakim pun begitu, sekalipun tak terbukti menikmati uang namun karena telah meminjamkan uang pada atasan tanpa jelas pembukuannya maka secara keuangan negara telah terbukti negara dirugikan. Demikian kata ahli dari BPKP berapi-api. Tok! Tok! Tok! Palu hakim diketok. Penjara 1,6 tahun! Anak-anaknya yang kecil-kecil menjerit. Ibu is terdakwa yang sudah tua renta tertatih memasuki ruang sidang dengan sandal jepit yang hampir putus talinya. Mereka bertangis-tangisan di ruang sidang. Apa mau dikata, hakim adalah wakil Tuhan. Vonis hakim adalah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dengan berat hati janda itu masuk ke ruang jeruji besi dengan mata sembab. Itulah sekedar contoh kasus korupsi. Ketika kasus demikian dibebaskan hakim, para aktivis tak mau tahu, orang seperti Denny Indrayana juga tak mau tahu. Pernahkan Denny Indrayana menyoroti kelemahan proses penyidikan dan penuntutan oleh kepolisian dan kejaksaan? Tidak pernah terdengar! Yang ada Denny hanya menyorot kinerja advokat saja. Padahal, advokat bukan unsur kekuasaan eksekutif yang menjadi urusan seorang Wamenhukham Denny Indrayana. Beda dengan Kanwil HAM yang bertugas mengurusi lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan negara (rutan), dan rumah penyimpanan barang sitaan negara (rupbasan) yang nota bene unsur kekuasaan eksekutif, dianya menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Wamenhukham Denny Indrayana untuk membereskannya dari segala kelebihan kapasitas, pungli, narkoba, dll--adakah sudah beres, Bung Denny? Bung Denny, Kalau seorang terdakwa dibebaskan hakim, jangan salahkan advokat semata dong, sebagai maju tak gentar membela yang bayar---lah, memang harus tak gentar, soal menghalalkan segala cara (suap-menyuap) itu soal lain lagi dan jelas melanggar hukum, tak ada yang kebal hukum. Salahkan juga jaksa yang lemah melakukan penyidikan dan penuntutan. Salahkan juga hakim yang memutus bebas karena menegakkan prinsip keadilan. Bahkan, salahkan keadilan itu sendiri. Kutukilah keadilan...pada akhirnya sama dengan mengutuk Tuhan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H