Indonesian Corruption Watch (ICW) berkerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di 14 provinsi di Indonesia---antara lain Jakarta, Padang, Medan, Jambi, dan Lombok---mengadakan legal annotations eksaminasi terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 591 K/PIDSUS/2010 dalam perkara Sisminbakum atas nama terdakwa Prof Dr Romli Atmasasmita, S.H.,LL.M. Untuk di Padang, tempat mukim penulis, dilaksanakan pada hari Kamis, 22 November 2012, di Basko Hotel.
Akankah eksaminasi besar-besaran dan sistematis terhadap putusan ini berpengaruh terhadap dibukanya kembali atau dibatalkannya SP3 dalam kasus Sisminbakum lain dengan tersangka Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, S.H.,M.A?
Menurut para eksaminator yang terdiri atas Shinta Agustina, S.H.,M.H. (dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas), Sudi Prayitno, S.H.,LL.M (advokat/praktisi), dan Vino Oktavia, S.H. (advokat/Direktur LBH Padang), dalam perkara Sisminbakum ini terdapat potensi kerugian negara (potential lost). Hal ini mengingat pungutan terhadap suatu layanan publik yang merupakan kewenangan Negara, seharusnya menjadi pendapatan atau penghasilan bagi Negara.
Salah satu rekomendasi yang mengemuka dalam eksaminasi tersebut adalah, supaya Jaksa Agung melakukan upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum terhadap kasus ini, dengan alasan majelis hakim kasasi melakukan kekeliruan/kekhilafan yang nyata dalam menerapkan hukum.
Upaya membuka kembali perkara ini penting untuk perbaikan proses hukum di masa mendatang dan supaya putusan MA ini tidak menjadi yurisprudensi. Jika upaya pertama ini berhasil, maka JPU harus melakukan gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian negara.
Hal ini disebabkan putusan majelis hakim kasasi sesungguhnya menganggap perbuatan yang didakwakan telah terbukti, hanya saja perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukum. Oleh karena itu, menurut eksaminator Shinta Agustina, putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam perkara ini kehilangan dasar.
Salah satu poin penting dari hasil eksaminasi putusan ini adalah, ketidakadilan dari kerjasama Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum) yang dituangkan dalam perjanjian kerjasama Nomor 135/K/UM/KPPDK/XI/2000-Nomor 021/Dir/YW-SRD/XI/2000 yang ditandatangani oleh Ali Amran Djanah selaku Ketua KPPDK (Koperasi Pegawai Pengayoman Departemen Kehakiman) dan Yohanes Wowuruntu selaku Direktur PT. SRD (Sarana Rekatama Dinamika).
Berdasarkan perjanjian di atas pemungutan akses fee kepada pihak yang mengurus pengesahan atau perubahan badan hukum dikenakan: 1. pemesanan nama perusahaan Rp.350.000,00; 2. pendirian dan perubahan badan hukum Rp.1.000.000,00; dan 3. pemeriksaan profil perusahaan di Indonesia (direksi, pemegang saham, permodalan dan maksud serta tujuan) Rp.500.000,00.
Setiap akses fee tersebut tidak satu pun yang masuk ke kas negara melainkan dibagi-bagi dengan perjanjian tersebut, KPPDK selaku pihak pertama memperoleh bagian 10% dan PT. SRD sebagai pihak kedua memperoleh bagian 90% untuk jangka waktu 7 tahun 2 bulan, sejak ditandatanganinya perjanjian. Setelah jangka waktu tersebut sampai berakhirnya perjanjian, KPPDK akan memperoleh 15% dan PT. SRD 85%. Dari 10% bagian KPPDK berikutnya disepakati 40% untuk KPPDK dan 60% untuk Dirjen AHU dimana terdakwa Romli sebagai Direkturnya pada waktu itu.
Sejak diberlakukannya Sisminbakum tanggal 1 Maret 2001 sampai 30 Juni 2002 saja PT. SRD telah diuntungkan dari akses fee sebesar Rp.31.539.887.725,58 dan sampai 5 November 2008 mencapai Rp.415.822.643.989,61. Setiap akses fee yang diperoleh dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sementara, PT. SRD hanya butuh dana sebesar Rp.512.318.750,00 saja untuk membangun networking dalam sistem di Sisminbakum tersebut.