Sore ini (20/3/2014), sesaat setelah gugatan terkait uji materi UU Pilpres ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, Bung Yusril Ihza Mahendra langsung membuat pernyataan kekecewaan bernada penolakan atas putusan MK itu. Secara ekstrim bahkan Yusril berujar, bubarkan saja MK. Belum cukup, Yusril berkicau di Twitter dengan nada mendelegitimasi MK.
Sebagai sesama warga negara dan Kompasianer, apalagi Anda seorang guru besar tata negara, tentu saja Anda harusnya tak perlu diajari lagi proporsionalitas bersikap atas putusan pengadilan yang telah final dan mengikat. Namun melihat sepak terjang Anda di muka publik dengan mendelegitimasi putusan MK dan institusi MK maka saya merasa terpanggil untuk sekedar bersuara.
Apa tidak lebih baik Anda mengambil sikap tidak "menjelek-jelekkan" MK? Karena toh putusan MK sudah final dan mengikat. Tidak bisa diapa-apakan lagi. Sebagai warga negara, ahli hukum, dan pemohon dalam perkara ini wajib tunduk dan patuh pada putusan MK yang sudah final tersebut.
Tentu Anda pahamlah konsekuensi logis dari menyerahkan urusan pada pengadilan; ada peluang menang dan ada juga peluang kalah. Ketika kalah dan semua upaya hukum sudah habis atau tak tersedia, ya, terima saja apa adanya. Patuh dan tunduk. Jangan maunya menang saja. Kalau mau menang-menangkan saja (padahal sudah dikalahkan) ya bukan ke pengadilan tempat menyerahkan urusan, melainkan ambil langkah main hakim sendiri---hal yang tak pantas diambil tentunya.
Saya sendiri sendapat mungkin menghindari menjelek-jelekkan secara terbuka putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan tak tersedia lagi upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun luar biasa, sekalipun putusan itu mengalahkan saya. Klien juga saya larang untuk mendelegitimasi institusi pengadilan hanya gara-gara dikalahkan. Jika tak puas dan masih ada peluang upaya hukum, ajukan upaya hukum. Bukan dengan menjelek-jelekan pengadilan.
Ada kekhawatiran jika lembaga pengadilan didelegitimasi, pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan akan kehilangan wibawa, dan ujung-ujungnya warga negara dan negara ini yang dirugikan. Apa lagi yang bisa diharapkan jika benteng terakhir keadilan telah diruntuhkan? Apalagi ini MK, lembaga pengadilan pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi tertinggi di republik ini.
Ada kerawanan orang-orang tak percaya lagi dengan kewibawaan pengadilan, yang pada akhirnya rawan memicu aksi main hakim sendiri. Logikanya, ngapain menyerahkan urusan ke pengadilan, mending main hakim sendiri, gebuk sendiri. Kan gawat kalau begitu.
Dalam hubungan ini, kecuali putusan hakim dikeluarkan dengan melanggar hukum acara, menyimpangi kewenangan, dan diintervensi korupsi, kolusi dan nepotisme, maka putusan itu wajib dihormati. Terlepas apakah puas atau tak puas dengan putusan itu. Jika tak puas dan masih ada upaya hukum ya lakukan upaya hukum. Namun dalam konteks putusan MK, upaya hukum itu tak tersedia.
Makanya, saya termasuk yang setuju, bahwa orang yang mengeluarkan pernyataan berlebihan ke publik atau media massa terkait putusan pengadilan dan lembaga pengadilan, ke depan, dikriminalisasi sebagai penghinaan terhadap lembaga pengadilan (contempt of court) yang pelakunya dapat dipidana.
Mengeluarkan pernyataan atau opini supaya pengadilan dibubarkan, karena dirinya dikalahkan oleh pengadilan, ke depan, semoga masuk kategori contempt of court secara pidana. Alternatif lain, dengan menerapkan pasal penghinaan di muka umum pada penguasa dan badan umum (Pasal 207 KUHP), dimana mencakup juga perbuatan-perbuatan seperti dilakukan Yusril di atas.
Selama ini, yang terkategori pidana "contempt of court" hanya membuat kegaduhan di pengadilan dan menolak perintah pengadilan (Pasal 217 KUHP) dan tanpa alasan jelas menolak jadi saksi, ahli dan juru bahasa (Pasal 224 KUHP).