Malam semakin larut akan tetapi mata belum terasa ngantuk sedikit pun. Sejenak istirahat dari membaca buku, klik internet sana sini, akhirnya ketemu artikel senior di Kompasiana Bang Edi Rakyat Negara Hukumberjudul "Jangan Bilang Aku China!" yang kebetulan HL Humaniora Kompasiana tanggal 22 Januari 2012 yang lalu. Kubaca artikel ini dengan asyik hingga tamat.
Nyatalah bahwa apa yang disuarakan oleh Bang Edi tersebut boleh dikatakan mewakili kegelisahan saudara-saudara kita etnis Tionghoa. Saya sendiri punya pengalaman unik terkait hal ini.
Suatu kebetulan saya terlahir asli suku Melayu Pasemah, tapi nama asli orang Jawa, dan wajah mirip orang Tionghoa. Gara-gara wajah ini kawan-kawan banyak panggil "Cina" dan, percaya atau tidak, saya bangga! Saudara-saudara sekampung di Bengkulu sana memberi julukan bernada canda: "Cina Belukar". Ini karena mata saya sipit, rambut lurus, kulit sawo matang tapi bertampang kere asli orang tani. He he he.
Asosiasi dengan etnis tertentu masih berlanjut. Jika berkenalan dengan kawan etnis Mentawai, biasanya akan ditanya apa saya orang Mentawai? Rupanya wajah dan perawakan saya mirip orang Mentawai. Induk semang tempat magang advokat dulu, Bang Ade Waldemar Sababalat (alm), yang asli Mentawai, sampai menyebut saya adiknya selain untuk tujuan akrab juga saking saya seperti orang Mentawai beneran. Bangga lagi.
Etnis Mentawai merupakan etnis asli terbesar kedua setelah etnis Minang di Provinsi Sumatera Barat. Umumnya mendiami Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sababalat adalah salah satu contoh suku asal dari etnis Mentawai, selain Sabelau dan Samaloisa.
Asosiasi etnisitas belum berakhir. Sebagian teman yang baru kenal ada juga yang bertanya, apa saya orang Batak? Bah, disangkanya pula saya orang Batak rupanya. Ini karena suara saya bariton, ngebas, keras dan tegas seperti orang Batak. Jadi masuk barang tu. Dan, bangga pula sayanya sebagian kawan memanggil "Ucok".
Sedangkan soal nama asli, Sutomo, jangan ditanya lagi. Banyak sekali kawan-kawan yang malas cari tahu suku asli dan memanggil saya "Mas". Sebagian lagi bertanya dari Jawa mana asal saya. Sekalipun gara-gara nama Jawa ini rada ngeri-ngeri sedap andai jalan-jalan ke Aceh, takut ditangkap GAM, namun saya tetap bangga dan senang karena jadi lebih mudah memulai sosialisasi dengan orang Jawa.
Oh, ya, nama belakang Paguci itu bukan nama asli melainkan nama pena di dunia maya. Paguci itu singkatan dari Padang Guci, kampung asal saya di Bengkulu Selatan sana.
Dalam beberapa percakapan dengan kawan-kawan berbagai etnis, saya akan menjelaskan bahwa saya orang asli Melayu. Bahasanya mirip bahasa Malaysia tapi lebih kaku, contohnya "kemane" (kemana) e-nya dilafaskan seperti kata "negak miras", "lukmane" (bagaimana) e-nya dilafaskan sama seperti kata "nelayan". Mantan Kabareskrim Polri Komjenpol Susno Duadji adalah orang Melayu Pasemah, Lahat, Sumatera Selatan. Selain di Sumatera Selatan, suku Melayu Pasemah banyak mendiami daerah Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu.
Tentu, akar etnisitas sejatinya tak perlu dipersoalkan dan idealnya justru dijaga sebagai wujud pelestarian budaya bangsa yang memperindah Taman Sari Nusantara. Yang harus dipersoalkan adalah jika masih ada praktik diskriminasi kewargaan dengan alasan etnis dan ras.
Berdasarkan UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, toh tidak ada lagi istilah Pribumi dan Keturunan. Yang ada adalah Orang Indonesia Asli dan Orang Bangsa Lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Siapapun yang lahir di Indonesia dari perkawinan sah orang Indonesia, termasuk etnis Tionghoa, adalah Orang Indonesia Asli. Mantan pebulu tangkis Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti adalah Orang Indonesia Asli. Bintang Timnas Christian Gonzales adalah 'Orang Bangsa Lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai wargan negara'.