Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Astaga, Kelas 3 SD Belum Pandai Baca Tulis?!

28 Juni 2012   07:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:27 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara sepihak dan tanpa permisi dengan orang tua, kuputuskan berhenti sekolah. Baju dan celana kumasukan ke buntalan, rencana mau kubawa ke kebun 20 km jaraknya dari rumah di kampung. Tekad sudah bulat. Berhenti sekolah dan jadi petani! Hari itu hari Kamis, tepat 25 tahun yang lalu.

Pagi tadi jam sembilan aku dipermalukan wali kelasku. Aku dihukum berdiri di muka kelas dengan satu kaki menjijit. Sontak diketawai kawan sekelas. Ketika ditegur guru karena berisik, kawan-kawaku itu tertawa cekikikan, mendesis saking menahan geli di perut.

Sebelum kejadian itu, ibu wali kelas menyuruhku maju ke depan kelas untuk menuliskan namaku sendiri di papan tulis. Tugas yang sangat mudah bagi anak es-de kelas tiga. Semua kawanku pasti bisa. Tidak denganku. Aku belum bisa baca tulis waktu itu. Segera keringat dingin mengucur di wajahku setelah berdiri hampir lima menit dan tetap tak bisa menuliskan bahkan sehuruf pun.

Ibu wali kelas mati-matian menahan ketawa. Dipukul-pukulnya meja sampai kapur tulis jatuh dari atas taplak meja. Kawan-kawan seolah dipandu untuk mengetawaiku. Akhirnya ibu wali kelas menghukumku berdiri menghadap papan tulis hitam dengan satu kaki, persis memantati teman-temanku yang tak henti-hentinya tertawa mendesis.

Ketika sudah merasa pegal dan kesemutan, kuubah kaki satunya lagi untuk berdiri menjijit. Demikian seterusnya hampir 45 menit lamanya. Satu mata pelajaran kuhabiskan dengan berdiri dengan satu kaki di muka kelas.

Bukan main malunya. Umurku waktu itu sudah 12 tahun. Badanku sudah cukup besar untuk anak seusia itu. Sebab kerjaku cuma tiga saja: makan, tidur dan main. Tidak pernah belajar sekalipun di rumah. Di sekolah pun aku jarang memperhatikan atau mencatat pelajaran. Makanya baca tulis huruf Latin belum pandai, apalagi baca tulis huruf Arab.

Padahal, saat masuk sekolah es-de kelas satu, usiaku sudah 9 tahun. Terlambat dua tahun dari usia normal anak kelas satu es-de.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun