Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ariel, Socrates, dan Peradilan Sesat

24 Juli 2012   02:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:42 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PADANG -- Socrates (470 SM - 399 SM) berdiri tenang menunggu keputusan Dewan Juri warga Athena dalam peradilan yang menentukan hidup-matinya pada tahun 399 SM. Lautan ketenangan itu seperti mengalirkan energi pada 500 Dewan Juri Persidangan. Vonis pun dikumandangkan. Dari 500 orang Dewan Juri Pengadilan tersebut, 280 mendukung hukuman mati, dan 220 diantaranya menolak hukuman mati pada Bapak para filsuf barat tersebut. Waktu itu, Socrates bisa saja lari dari penjara dengan dibantu para sahabatnya, namun pilihan itu tak diambilnya. Ia menerima hukuman mati itu sebagai wujud nyata kepatuhan pada hukum kota Athena. Ia tegak racun dan tewaslah ia dalam usia 70 tahun. Socrates diadili karena perbuatannya yang menyebarkan paham filasafat yang dianggap menyesatkan generasi muda pada waktu itu. Antara lain Socrates mengajarkan kebijaksanaan, bahwa dirinya bukanlah orang paling bijak seperti dinilai banyak orang, dan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana. Ajarannya ini mengakibatkan sakit hati banyak orang. [caption id="attachment_189340" align="aligncenter" width="250" caption="Kematian Socrates, lukisan karya pelukis Jacques-Louis David (1787). (id.wikipedia.org)"][/caption] Sejarah kemudian mencatat bahwa peradilan guru filsuf Plato tersebut adalah kejadian pertama dalam sejarah demokrasi barat dimana seorang taat hukum mengorbankan dirinya kepada sistem hukum peradilan, sekalipun peradilan sesat. Socrates telah dihukum atas kehendak massa dibandingkan atas kehendak hukum itu sendiri. Peradilan Socrates agak mirip persidangan kasus video porno Nazriel Irham alias Ariel Piterpan pada akhir 2010 - awal 2011 lalu. Sejarah sepertinya memang selalu berulang. Ariel lebih berat dijatuhi hukuman karena tekanan warga dibandingkan karena hukum itu sendiri. Dalam kasus video porno tersebut ada empat orang yang diseret proses hukum, yaitu Reza Rizaldi alias Redjoy, Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari. Redjoy dan Ariel sudah divonis bersalah pengadilan negeri masing-masing 2 tahun dan 3,5 tahun. Sedangkan berkas tersangka Luna Maya dan Cut Tari masih mengendap di Kepolisian hingga saat tulisan ini diturunkan. Yang perlu dicatat dari persidangan Ariel adalah bahwa Ariel menyangkal pelaku dalam video itu dan menolak bertanggung jawab atas penyebaran video tersebut. [caption id="attachment_189341" align="aligncenter" width="300" caption="Ariel divonis lebih berat dari Rejoy. Foto: pn-bandung.go.id. Sumber: hukumonline.com"]

134309575779727330
134309575779727330
[/caption] Dari pertimbangan putusan hakim bisa dipelajari bahwa Ariel divonis atas dasar alat bukti berupa keterangan saksi (antara lain Rejoy, Luna Maya, dan Cut Tari), keterangan ahli (pengajar hukum pidana Dr Chaerul Huda dan ahli forensik Mabes Polri Anton Kasilangi), serta barang bukti video. Karenanya, dari segi jumlah minimal dua alat bukti, syarat pembuktian sudah terpenuhi. Hanya, bagaimana dengan syarat keyakinan hakim terhadap fakta hukum dari alat bukti dan penerapan pasalnya? Bisakah alat bukti itu dijeratkan pada perbuatan Ariel? Adapun vonis hakim pada intinya menyatakan Ariel telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan Pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) UU No44 Tahun 2008 tentang Pornografi, pada dakwaan Pertama Primer.

Pasal 4

Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b.kekerasan seksual;

c.masturbasi atau onani;

d.ketelanjangan atau tampilan yang mengesanka ketelanjangan;

e.alat kelamin; atau

f.pornografi anak.

Pasal 29

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Penjelasan Pasal 4 tersebut menyatakan pengecualian pembuatan video porno untuk kepentingan diri sendiri. Namun hakim menolak penjelasan pasal ini dengan pertimbangan "penjelasan tidak boleh mempersempit, mengecualikan, atau meniadakan makna pasal." Dimana Ariel, menurut Majelis Hakim, masuk kategori "memproduksi" atau "membuat" video porno. Oleh banyak pengamat termasuk saya, penafsiran hakim tersebut dinilai keliru. Hakim nampak kurang memahami roh dari maksud dibalik Pasal 4 jo. Pasal 29 UU Pornografi. Sebab, jika penafsiran hakim itu yang dipakai maka saya atau siapa pun andai membuat sendiri video porno untuk kepentingan pribadi, secara tertutup, dan bukan untuk konsumsi publik maka akan dijerat dengan pasal-pasal tersebut. Padahal, bukan itu maksudnya. Maksudnya adalah memproduksi atau membuat video porno untuk tujuan disebarkan ke orang lain. Pornografi baru memiliki relevansi rasional jika diperagakan di muka publik. Jika seseorang telanjang bulat di tengah rimba hutan Amazon, ya jelas tak bisa dijerat pornografi. Atau, seseorang dengan pasangannya membuat video intim di planet Mars untuk tujuan konsumsi pribadi, ya tak relevan dijerat pornografi. Karena itu, Ariel pada dasarnya divonis bersalah gara-gara tersebarnya video itu. Lah, siapa yang menyebarkan? Itulah Redjoy cs! Simpulannya, Ariel dipidana karena perbuatan orang lain dalam hal ini Redjoy cs. Bukan oleh perbuatan Ariel sendiri. Ajaib. "Ariel itu dihukum bukan oleh keadilan, tapi oleh desakan publik, persis seperti Socrates." Demikian kicau @assyaukanie. -------------------------- (*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum. Tulisan ini didedikasikan buat kebebasan-bersyarat Ariel hari Senin (23/7/2012) kemaren.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun