Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anti-Maksiat, Jualan Politisi Daerah Menjelang Pilkada

4 Januari 2013   11:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:31 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin di daerah Anda juga? Yang jelas di daerah tempat saya tinggal trendnya demikian, sekedar contoh silahkan klik di sini. Tiap menjelang pemilihan kepala daerah selalu bermunculan figur-figur politisi yang "menjual" ayat-ayat agama dan jargon "akan memerangi kemaksiatan" di daerahnya. Menariknya, "jualannya" laku keras. Hala!

Atas rasional apa seorang calon (atau kepala daerah) berhak secara moral menjadi "hakim" dan penjatuh vonis terhadap moral warganya. Pemerintah dan warga sama-sama subjek hukum. Keduanya setara. Juga setara secara moral. Satu sama lain tidak berhak secara moral untuk memaksakan versi moralnya pada pihak lain.

Aturan terkait moralitas publik mestinya dirumuskan melalui pendekatan konsensus secara partisipatif alias melibatkan warga yang moralitasnya akan diatur. Dalam hal ini, tidak pada tempatnya seorang kepala daerah memaksakan versi moralitasnya pada warga secara satu arah, top-down.

Seolah-olah moralitas pemerintah itu levelnya jauh lebih baik dan berwenang untuk memaksakan standar moralnya pada warga. Coba, korupsi dan birokrasi kompleks saja demikian parah tapi berani-beraninya tebal muka mengatur moral warga tidak boleh pegangan tangan, mesti berpakaian begini-begana, dst. Hala!

Contoh, tahu-tahu keluar aturan dilarang keluar malam bagi wanita lewat jam 23.00; tiba-tiba keluar aturan wajib baca tulis Quran bagi pasangan yang akan menikah (padahal ini bukan rukun nikah); tiba-tiba keluar aturan dilarang berduaan dengan bukan muhrim di tempat umum; dll. Jika aturan demikian hanya diterapkan di internal pemerintah maka masih bisa dipahami, karena internal pemerintah (eksekutif) menjadi garis komando kepala daerah. Sebaliknya, aneh jika diterapkan pada publik luas termasuk di luar pemerintahan.

Bahkan, sekalipun aturan terkait moralitas publik itu dirumuskan bersama eksekutif dan legislatif (DPRD) tetap saja kurang partisipatif. Sekian ribu orang "dihakimi" standar moralnya oleh sekian puluh anggota legislatif, sebagai wakil warga di parlemen daerah. Tidak pernah terdengar ada survei publik terhadap rencana aturan yang mengekang moralitas publik.

Tarok kata aturan moralitas publik itu dibuat secara sepenuhnya partisipatif (dengan survei atau "referendum") dan melibatkan wakil rakyat di perlemen, tetap saja tidak pada tempatnya penegakan moralitas itu dilakukan oleh unsur eksekutif (pemerintah) melalui tangan satuan polisi pamong praja, sekalipun dibenarkan secara hukum. Karena itu tadi; pemerintah dan warga secara moral memiliki posisi yang setara. Penegakan hukum demikian idealnya dilakukan oleh usur kekuasaan lain yang lebih independen, misalnya penyidik kepolisian (tapi ini tak mungkin).

Masalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau

(Iwan Fals, Manusia Setengah Dewa)

Hala!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun