[caption id="attachment_314991" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Anak kalimat "dan lain-lain" (dll.) menjadi pembicaraan hangat kalangan praktisi hukum saat berkumpul. Hal mana tak terlepas dari mangkirnya Anas dari panggilan KPK karena disebutnya "dan proyek lainnya" dalam surat panggilan. Sebagaimana diketahui dalam surat panggilan KPK disebutkan sangkaan pada Anas: melanggar Pasal 12 a, b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus dugaan pemberian dan janji terkait proyek Hambalang dan proyek lainnya. Bagaimana soal ini dalam kaca mata hukum? Prinsipnya, untuk persiapan pembelaan, tersangka berhak diberi tahu dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan padanya pada waktu pemeriksaan dimulai. Sehingga jika tersangka mau mendapatkan penjelasan, menurut KUHAP, tak ada jalan lain tersangka mesti memenuhi panggilan terlebih dahulu. "Untuk mempersiapkan pembelaan: (a) tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai," tegas Pasal 51 (a) KUHAP. Ini untuk tingkat penyidikan, persis seperti konteks Anas Urbaningrum saat ini. Untuk tingkat persidangan di pengadilan kembali tersangka berhak mendapat penjelasan terkait dakwaan padanya, jika dakwaan itu dinilainya tak jelas. "(b) terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya," bunyi Pasal 51 (b) KUHAP. Dengan demikian KPK sudah berada di jalur yang benar saat memanggil Anas dan menunda memberikan penjelasan. Penjelasan menjadi tak sesuai hukum acara jika disampaikan melalui konferensi pers, melalui surat, telepon, saat ketemu di jalan, dsb. Karenanya, satu-satunya jalan Anas harus memenuhi panggilan KPK. Selanjutnya, yang perlu dipahami bersama adalah, tindak pidana korupsi bukan delik aduan. Ini penting sekali dipahami. Jika dalam pemeriksaan kasus proyek Hambalang ditemukan lagi dugaan korupsi di proyek-proyek lainnya, maka penyidik berwenang mengusut korupsi di proyek-proyek lain tersebut. Anak kalimat "dan proyek lainnya" dicantumkan atau tidak dalam surat panggilan tak jadi permasalahan. Boleh dicantumkan dan boleh juga tidak. Tak ada pengaruhnya sama sekali dalam proses penyidikan. Karena de jure dan de facto, penyidik memang berwenang meluaskan penyidikan jika ditemukan bukti-bukti korupsi dalam proyek lain. Itulah mengapa dalam pengusutan kasus narkotika, misalnya, penyidik bisa saja menemukan tindak pidana lain, sebut saja pemalsuan dokumen emigrasi, membawa senjata tajam, senjata api, dll. Yang masing-masing kategori perbuatan ini ada pasal-pasal pidana yang berlainan. Penyidik berwenang memperluas sangkaan awal (narkotika) ke pemalsuan dokumen emigrasi, membawa senjata tajam, dan penggunaan senjata api tanpa izin. Tindak pidana korupsi dan tindak pidana narkotika sama-sama bukan delik aduan. Kapan pun diketahui ada tindak pidana demikian penegak hukum berwenang menyidiknya. Berbeda dengan perkara perdata. Hakim tak berwenang mengabulkan gugatan lebih dari yang diminta (ultra petita). Misalnya, yang diminta hanya pembatalan sertifikat, maka hakim hanya berwenang mengabulkan atau menolak pembatalan sertifikat itu. Tak lebih tak kurang. Sekalipun dalam pemeriksaan ditemui fakta tergugat juga punya hutang yang telah jatuh tempo, dll. (Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H