[caption id="attachment_202712" align="aligncenter" width="620" caption="Ketua KPK Abraham Samad. Foto: KOMPAS/LUCKY PRANSISKA"][/caption] Saya kadang heran dengan Pimpinan KPK seperti Abraham Samad ini. Ia nampak begitu bernafsu menahan tersangka. Nafsu demikian hemat saya adalah perwujudan nyata dari pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang telah “mengadili” atau bahkan “memvonis” orang lain sebagai bersalah sebelum ada putusan hakim. Kemaren Abraham Samad “mengaum” hebat. “Besok saya tidak akan bergeser dari tempat duduk saya, dan ruangan saya. Saya hanya menunggu teman-teman penyidik di lantai tujuh dan delapan untuk menyodorkan surat penahanan, dan jika surat penahanan itu ada di meja saya, maka saya tidak akan menolak untuk menandatanganinya,” kata Abraham di Jakarta, Kamis (4/10/2012), sebagaimana dikutip Kompas.com, menanggapi rencana penahanan Irjen Djoko Susilo hari ini (5/10/2012). Nyatanya, “auman macan” Abraham Samad tidak terbukti. Abraham hari ini malah berada di Makassar. Irjen DS selamat dari “Jumat keramat”. Seolah pameo “harimau yang mengaum tidak akan menerkam” mendapat pijakan realitas. Setidaknya Irjen DS belum ditahan. Sesuai hukum, penahanan tidak wajib. Akan tetapi di tangan KPK penahanan menjadi wajib. Penahanan wajib jika terpenuhi syarat objektif dan subjektif penahanan. Syarat objektif jika tindak pidana diancam lima tahun ke atas atau kategori perbuatan tertentu yang ditetapkan suatu pasal pidana. Sedangkan syarat subjektif penahanan adalah jika penilaian aparat hukum ada kekhawatiran tersangka/terdakwa melarikan diri, mengulangi perbuatan, dan menghilangkan barang bukti. Seperti Angelina Sondakh, misalnya, jelas sudah memenuhi syarat objektif untuk dilakukan penahanan. Namun syarat subjektif penahanan masih dapat diperdebatkan, antara lain, apakah mungkin seorang Anggie melarikan diri? Apakah mungkin mengulangi perbuatan yang sama sementara ia tidak lagi menduduki posisinya di DPR RI? Apakah mungkin ia akan menghilangkan barang bukti sedangkan barang bukti itu telah disita semua oleh KPK? Ini contoh saja. KPK dan Pengadilan Tipikor seperti tak peduli dengan syarat penahanan tersebut. Main pukul rata saja. Setiap tersangka yang diproses otomatis dilakukan penahanan. Tidak peduli bahwa penahanan itu akan berefek pada perkembangan kejiwaan anak balita yang sedang dalam pengasuhan tersangka. Seperti Keanu Djabaar Massaid (3) yang dalam pengasuhan Angelina Sondakh. Tidak heran jika seorang Dr Seto Mulyadi (Kak Seto) bersedia meneken surat rekomendasi Keanu diasuh langsung oleh ibu kandungnya, artinya, Angie ditangguhkan dulu penahanannya. Sabar saja. Kalau mau menghukum orang sabar tunggu putusan hakim, kecuali jika penahanan memang tak terelakkan lagi, misalnya dalam kasus pencabulan berulang, pembunuhan yang tersangkanya membayakan, teroris, dll. Seperti Angie, misalnya lagi. Kalau memang Angie terbukti dan bersalah di pengadilan maka pasti akan divonis pidana oleh hakim. Saat itulah seorang terpidana akan dijebloskan ke penjara tanpa ampun. Penahanan harus sangat ekstra hati-hati jangan sampai salah syarat objektif dan subjektif. Bukan saja akan berimplikasi pada perampasan kebebasan orang lain diluar keharusan, tapi juga bahwa kebebasan yang telah dirampas tersebut tidak akan pernah bisa dikembalikan lagi seperti semula andai kata seorang terdakwa ternyata kemudian tidak terbukti bersalah di pengadilan. Sangat banyak contoh tersangka/terdakwa yang telah ditahan berbulan-bulan tahu-tahu di pengadilan dibebaskan hakim karena tidak terbukti bersalah. Nah, bagaimana dengan kebebasan yang telah terlanjur dirampas dengan penahanan, dapatkah kebebasan yang hilang itu dikembalikan lagi?! Sayangnya, akhir-akhir ini, penegakan hukum cenderung berselubung pencitraan dan bukan semata hukum. Penegak hukum akan berlomba untuk menahan tersangka/terdakwa. Karena dengan menahan demikianlah pamor si penegak hukum akan naik dan ia selamat dari cercaan publik. Dalam kondisi demikian bukan lagi penegakan hukum namanya. Lebih tepat disebut penegakan aspirasi publik.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H