Lidah dibangun dari kenangan. Apa yang biasa dimakan pada masa lalu akan terbawa menjadi kenangan rasa yang mengendap dalam memori lidah. Terus terbawa hingga dewasa. Ke manapun kaki melangkah.
Sebagai orang Melayu yang hidup di pedalaman pulau Sumatera, kami terbiasa makan masakan pedas. Rasa pedas diambil dari cabai.
Tidak selalu pedas. Kadang ada saja jenis masakan yang tidak mengandung cabai. Tapi garisnya selalu harus lurus. Pedas artinya mengandung cabai saja. Tidak ada rasa pedas campur manis karena diberi gula seperti masakan orang Jawa.
Jenis masakan pedas biasanya berbentuk sambal dengan berbagai variannya: sambal lado saja, sambal tempoyak, sambal teri, sambal petai, sambal jengkol, dan lain-lain. Rasa pedas selalu dari cabai.
Ada lagi masakan pedas berbentuk gulai, sejenis masakan aneka bahan berkuah dari santan. Bahan gulai bisa macam-macam: aneka daging, jengkol, nangka muda, keladi, kemumu, umbut-umbutan, dan lain sebagainya.
Kenangan lidahku mencatat, masakan dari bahan daging harus selalu garis lurus: pedas atau tidak sama sekali.
Lidah Melayu saya tidak mengenal goreng ayam balado yang diberi gula, atau, gulai nangka pedas dicampur gula. Pedas ya pedas. Pedas garis lurus.
Karena rasas itu mengendap jadi kenangan yang melekat kuat seperti candu, maka lidah saya menolak keras setiap masakan dari bahan daging yang diberi cabai campur gula, seperti masakan orang Jawa. Dipaksa-paksa sih bisa saja, tapi sulit untuk menikmati, mungkin butuh penyesuaian yang panjang.
Kadang menjadi masalah saat saya ada urusan ke pulau Jawa. Karena kebanyakan masakan dari daging atau protein selalu dikasih gula. Goreng ayam dikasih gula. Goreng telor balado dikasih gula.