Kabar terbaru menyebutkan ada lima orang jenderal aktif dari TNI dan Polri yang menyatakan diri siap berlaga di ajang pilkada tahun 2018 mendatang. Ini belum termasuk jenderal yang wait and see angin politik pada pilpres 2019 mendatang.
Kelima jenderal itu adalah Irjen Pol Murad Ismail (Maluku), Irjen Pol Safaruddin (Kaltim), Irjen Pol Anton Charliyan (Jabar), Irjen Pol Paulus Waterpauw (Papua), dan Letjen TNI Edy Rahmayadi (Sumut). Kelima-limanya jenderal aktif di institusi masing-masing.
Kalau dikatakan bahwa maraknya para jenderal terjun ke politik praktis karena parpol gagal melahirkan kader sipil berkualitas, nampaknya argumen itu tidak tepat.Â
Toh, partai politik tetap menjalankan perannya seperti biasa, sama dengan era terdahulu, bahkan mungkin jauh lebih baik dan demokratis. Presiden Joko Widodo diantara contoh politisi sipil cemerlang hasil rekruitmen politik yang dijalankan parpol.
Karena itu, fenomena "dwifungsi gaya baru" demikian dinilai mengawatirkan. Pasalnya, jati diri prajurit TNI dan Polri pada dasarnya terlarang keras terlibat dalam kegiatan politik praktis. Ingat, kelima jenderal itu belum resmi mundur, tapi sudah menggalang kekuatan jaringan dan opini untuk maju dalam pertarungan pilkada; jelas-jelas ini politik praktis namanya.
Taroklah, sekalipun mereka sudah resmi mundur beberapa saat sebelum didaftarkan sebagai kontestan calon kepala daerah di KPUD, artinya telah resmi menjadi "sipil", akan tetapi jati diri sebagai prajurit tidak benar-benar dilepaskan.Â
Mereka tetap saja jenderal (purnawirawan) dengan jejaring prajurit di berbagai daerah. Sulit dibayangkan mereka begitu lugu tidak akan memanfaatkan pengaruh dan jejaring teman-temannya yang masih aktif.
Ada adagium, prajurit itu selamanya prajurit sekalipun tidak lagi di kesatuan. Mentalitasnya tetap prajurit. Lihat saja para purnawirawan jenderal itu, mereka tetap mengasosikan diri sebagai tentara, aktif dalam organisasi purnawirawan, dst.
Secara aturan hukum tidak ada larangan seorang mantan tentara atau polisi terlibat dalam kegiatan politik praktis karena mereka telah menjadi seorang sipil sesuai prinsip supremasi sipil dalam alam demokrasi. Hak asasi.
Namun, bagi seorang jenderal, yang telah pernah memegang komando cukup tinggi, pernah memiliki anak buah banyak, yang tersebar di berbagai daerah, akan ada kekhawatiran tersendiri, diantaranya memanfaatkan jejaring teman-temannya yang masih aktif dan nota bene bersenjata.Â
Ini memang bisa diawasi oleh pengawas pemilu, tapi "gerakan bawah tanah" dalam politik sulit sepenuhnya terpantau.