Curhat saksi kunci korupsi KTP-el Johannes Marliem, sebelum dirinya ditemukan tewas (Kamis, 10/8/2017), menghentak relung kesadaran kita. Bahwa betapa riskannya proses penyidikan dijadikan festivalisasi (pemberitaan yang berlebihan) pertunjukan di hadapan media.
Kepada jurnalis KONTAN, yang dipublikasikan Sabtu (12/8/2017), Marliem curhat kekecewaannya atas publikasi kesaksiannya dan perasaan jiwanya yang terancam.
"Saya tidak mau dipublikasi begini sebagai saksi. Malah sekarang bisa-bisa nyawa saya terancam," ujarnya.
Tanpa bermaksud mendahului proses hukum, karena sebagai warga negara kita boleh menduga, bahwa Marliem tidak bunuh diri seperti diberitakan. Marliem dibunuh!
Kecurigaan ini didasarkan pada curhatnya tersebut dan beberapa luka tembak pada dirinya, hal yang kurang lazim dalam kasus bunuh diri.
Dari curhat itu tampak feeling Marliem bahwa jiwanya terancam. Artinya, ia merasa pihak di luar dirinya yang mengancam nyawanya, bukan dirinya yang mau bunuh diri.
Andai saja kesaksian Marliem dalam proses penyidikan tersebut ditutup rapat-rapat hingga sampai di pengadilan, barangkali ceritanya akan menjadi lain.
Penyidikan idealnya memang tertutup untuk umum, apalagi dalam kasus-kasus besar yang rawan mengancam keselamatan dan independensi (dari kemungkinan penyuapan, intimidasi dll) pada para saksi.
Belum lagi para saksi yang mendapat stereotip sudah bersalah di mata sebagian publik. Pokoknya asal sudah dipanggil penyidik sudah dianggap cemar (bersalah). Padahal belum tentu demikian.
Publikasi penyidikan bisa bersumber dari penyidiknya sendiri, bisa juga dari saksinya sendiri yang bicara pada media, dan dua-duanya bisa berkontribusi bersamaan.
Marliem berbicara blakan-blakan ketika diwawancarai Koran Tempo (19 Juli 2017), bagaimana arsip rekaman terkait aktor-aktor KTP-el selama 4 tahun sebesar sekitar 500 gigabit. Orang jadi tahu bagaimana penting dan gentingnya nilai kesaksian ybs.