[caption caption="Tiwul hangat siap disantap (dokpri)"][/caption]Melalui percakapan pesan Facebook, saya memesan tiwul instan "FERA" dari pengrajinnya langsung, Fera Nuraini, pengusaha muda penuh harapan sekaligus eks buruh migran dari Hongkong dan seorang Kompasianer.
Percakapan pesan Facebook tersebut menghubungkan saya yang tinggal di Padang dengan Mbak Fera Nuraini yang tinggal di Ponorogo. Ya, tiwul instan "FERA" dibuat di Desa Kunti, Ponorogo, Jawa Timur.
[caption caption="Tiwul instan "FERA" siap dikirim (Foto: Fera Nuraini)"]
Sejenak kilas balik. Bagi saya tiwul adalah makanan dari masa lalu. Saat masih kecil, kira-kira usia sekolah dasar, saya biasa makan tiwul di rumah teman-teman asli Jawa yang bertransmigran di Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu.
Tiwul itu dibuat dari ketela beracun yang daunnya berwarna kehitaman. Tapi rasanya sangat enak, kenyal-kenyal, lebih enak dan kenyal dibandingkan tiwul dari ubi kayu biasa.
Cara membuatnya pun sangat mudah. Bahan tiwul dari ubi yang telah kering dihaluskan lalu dikukus campur sedikit beras. Kata temanku, makan tiwul adalah cara untuk menghemat beras.
Karena merasa enak, akhirnya saya biasa membeli tiwul yang dijual di Pasar Minggu, Desa Margasakti, Kecamatan Padang Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu, kurun 1980-an sampai 1990-an. Haha lengkap tempatnya.
Setamat SMP saya sekolah di ibu kota propinsi yaitu Bengkulu. Sejak itulah saya tak pernah lagi makan tiwul. Tapi walau begitu, rasa tiwul telah mengendap dalam lidah kenangan. Ada saat-saat tertentu kepengen masakan ibu atau makanan dari masa kecil, termasuk tiwul.
Berpuluh tahun berlalu. Setelah tinggal di Padang barulah saya kembali bisa merasakan tiwul, beli di internet secara online.
***
[caption caption="Tiwul dimakan dengan gulai ayam kampung (dokpri)"]