DALAM mata kuliah kedokteran kehakiman biasanya dipelajari ketentuan otopsi. Otopsi (auto=sendiri, opsis=melihat) terhadap mayat berdasarkan tujuannya ada dua jenis, yaitu otopsi klinik dan otopsi forensik/medikolegal.
Otopsi forensik diperlukan untuk proses hukum pidana guna mengenali identitas mayat, sebab pasti kematian, perkiraan cara kematian, dan saat kematian. Termasuk di dalamnya mengidentifikasi benda atau barang yang menjadi penyebab kematian serta identitas pelakunya, jika ada.
Keluaran atau hasil dari otopsi akan melahirkan dua alat bukti. Pertama, alat bukti surat berupa laporan tertulis yang objektif dalam bentuk visum et repertum (VR). Kedua, alat bukti keterangan ahli yang melakukan otopsi yang dituangkan dalam berita acara. Kedua alat bukti ini akan diberkas ditingkat penyidikan dan dibawa hingga ke persidangan.
Ketentuan otopsi
Karena itulah, dalam proses hukum pidana, hasil otopsi forensik sangat vital perannya untuk proses penetapan tersangka, sekaligus berguna untuk melindungi orang yang tidak bersalah.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perihal otopsi diatur dalam Pasal 133 dan 134. Kedua pasal ini pada pokoknya mengatur bahwa penyidik dalam menangani korban luka, keracunan ataupun mati, yang diduga akibat peristiwa pidana, berwenang meminta keterangan ahli.
Otopsi terhadap korban yang diduga meninggal karena keracunan wajib dilakukan secepat-cepatnya agar jejak racun di tubuh mayat tidak hilang dan cepat diidentifikasi. Dalam kasus begini penyidik wajib memberitahukan kepada keluarga untuk memperoleh izin otopsi.Â
Dalam hal keluarga korban keberatan dilakukan otopsi forensik, penyidik wajib memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dilakukan otopsi atau pembedahan mayat terhadap korban. Tujuannya agar keluarga korban mendapat gambaran bahwa tanpa dilakukan otopsi forensik maka penyebab kematian tidak akan ditemukan secara pasti (scientific).
Jika sampai 2 (dua) hari tidak ada tanggapan, atau keluarga korban menolak otopsi, maka mayat diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Mirna tidak diotopsi
Dalam kasus tewasnya Mirna, sangat mengherankan tidak dilakukan otopsi forensik. Alasannya, keluarga korban keberatan dilakukan otopsi. Beritanya dapat dilihat di sini.