Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masa Depan Perkara Jessica Bergantung pada Independen atau Tidaknya Hakim?

6 September 2016   10:30 Diperbarui: 6 September 2016   20:25 7031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terdakwa Jessica Kumala Wongso mendengar kesaksian saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2016). Jessica diduga menaruh zat sianida ke dalam kopi yang diminum Mirna di Cafe Olivier, Grand Indonesia, Januari lalu. (KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

Entah bagaimana suasana pikiran dan kebatinan majelis hakim perkara Jessica Kumala Wongso saat ini. Hakim bisa saja mengabaikan keterangan ahli. Namanya juga keterangan ahli, hanyalah pendapat, boleh dipakai boleh juga diabaikan. Tapi hakim tidak boleh mengabaikan bukti yang bersifat material. Bukti mengatakan, tidak cukup signifikan jejak sianida di lambung Wayan Mirna Salihin.

Untuk dapat membunuh manusia, racun sianida harus meninggalkan jejak di lambung, hati, dan empedu secara signifikan. Di lambung Mirna hanya ditemui 0,2 miligram sianida, yang kemungkinan besar diproduksi tubuh secara alami pascakematian. Sedangkan untuk dapat membunuh manusia, ada 1.000 miligram per liter bahkan lebih senyawa sianida di lambung. Artinya, diduga kuat Mirna tewas bukan karena sianida. Demikian disampaikan ahli Prof. Dr. Beng Beng Ong dari Universitas Queensland, Brisbane, Australia.

Lantas apa penyebab tewasnya Mirna? Sebuah pertanyaan yang kemungkinan jawabannya akan membuat suram perkara ini. Pasalnya, jasad Mirna tidak diotopsi sehingga tidak tahu penyebab pasti (scientific) kematian Mirna. Tidak ada cara lain untuk mengetahui penyebab kematian secara pasti (scientific), dalam kasus kematian yang terindikasi tidak wajar, kecuali melalui metode otopsi. Tanpa otopsi, penyebab kematian Mirna sendiri pada akhirnya hanya tebak-tebakan saja.

Prinsip hukum mengatakan, hakim harus membebaskan terdakwa jika dakwaan tidak terbukti. Dan ketika hakim meragukan kesalahan terdakwa, berlakulah asas "in dubio pro reo": jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa bersalah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.

Itu prinsip hukumnya. Prinsip hukum itu pada dasarnya sangat sederhana, terutama dalam tataran teoritis; harusnya gampang saja saat diterapkan dalam praktik di pengadilan. Namun dalam kenyataannya tidak demikian. Fakta di lapangan sering membuktikan, ada banyak variabel yang mempengaruhi penjatuhan suatu vonis, di luar hukum pembuktian yang resmi ditetapkan dalam KUHAP.

Satu hal yang sangat berpengaruh dalam penjatuhan putusan adalah tekanan publik. Apakah hakim tetap independen di tengah kuatnya tekanan publik, derasnya arus pemberitaan di media massa, dan pikiran tentang masa depan karier. Andai hakim sampai membebaskan Jessica tentu akan terjadi kehebohan. Karena selama ini pemberitaan media demikian kuat membangun kesan seolah Jessica-lah pembunuh Mirna. Loh, tahu-tahu dibebaskan. Jika Jessica dibebaskan, lantas siapa pembunuh Mirna? Atau, kalau ragu Mirna dibunuh orang, apa penyebab langsung kematian Mirna? Sementara pada sisi lain, jasad Mirna tidak diotopsi.

Hakim yang kuat dan independen akan mengambil sikap yang normatif (dan sederhana saja): membebaskan jika tidak cukup bukti atau meragukan kesalahan terdakwa. Sedangkan hakim yang lemah akan cenderung cari aman: putuskan sesuai yang paling menguntungkan dirinya.

Salah satu pintu masuk untuk membuat putusan "akrobat" adalah dengan mengotak-atik celah teoritis penyebab langsung kematian Mirna, apakah Jessica yang melakukan, dan apakah terhadap perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan pada diri terdakwa? Kajian teoretisnya panjang banget.(*)

SUTOMO PAGUCI 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun