Jujur menyenangkan sekali menulis dengan sudut pandang liberal-sekuler. Dengan cara ini si penulis tidak terkungkung pada kebenaran sektoral teks agama sendiri. Melainkan berpedoman pada otonomi pikiran sendiri dan teks aturan main bersama.
Dengan cara itu tidak perlu mengutip ayat kitab suci tiap kali berargumen. Cukup lihat realitas, hubungkan dengan nalar sehat dan aturan main bersama, lalu ambil kesimpulan seperlunya. Selesai.
Teks-teks agama berhenti untuk konsumsi pribadi dan kelompok sekeyakinan saja. Ketika sudah masuk ke group bersama atau negara maka teks agama berhenti dibunyikan.
Di level group bersama dan negara aturan mainnya adalah aturan yang diciptakan bersama, aturan yang lintas suku, ras, agama dan antar golongan (SARA). Di Kompasiana aturan mainnya adalah ToC. Di level negara aturan mainnya adalah konstitusi UUD 1945 dan perundangan organik di bawahnya.
Bukankah lucu jika group bersama seperti Kompasiana dipakai aturan main dari agama tertentu, misalnya dari agama mayoritas kompasianer. ToC yang ada sekarang mengatur aturan main berkompasiana untuk semua, lintas SARA.
Berbeda andai perkompasianaan pakai aturan agama Islam, misalnya, setiap awal tulisan wajib menuliskan lafas basmalah. Sedangkan di Kompasiana cukup judul tidak boleh dengan huruf besar semua, tidak boleh menyerang pribadi, dst.
Inilah logika faktual sederhana bahwa aturan agama (dalam pengertian formalistik) sebaiknya dipisahkan dari urusan bersama di level group dan negara. Karena pasti tidak cocok. Maka itu, saya selalu setuju dengan pandangan, bahwa liberal-sekuler jauh lebih cerdas dibandingkan paham penyatuan agama-negara.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, ToC Kompasiana sudah menganut asas liberal-sekuler, yang memisahkan antara aturan formalistik agama dengan group bersama lintas SARA.
(SP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H