Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anas Mengadu Tiga Gajah?

26 Februari 2013   00:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:41 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indikasi kuat perlawanan politik yang dilakukan Anas Urbaningrum (AU) atas penetapan dirinya sebagai tersangka, sebagaimana tercermin dalam status-status BBM dan pidato pengunduran dirinya (23/2/2013), memperlihatkan kesengajaan AU mengadu "tiga gajah": SBY-loyalisnya, KPK, dan HMI-KAHMI.

Pernyataan AU dalam pidatonya potensial berakibat KPK dibenturkan dengan SBY. Dikesankan pada publik bahwa kasus AU tak lebih dari rekayasa politik SBY dan kroninya untuk menjatuhkan AU dari kursi Ketum Partai Demokrat, karena AU adalah 'bayi yang lahir tak diharapkan' dan karenanya harus disingkirkan. Caranya, SBY 'nabok nyilih tangan' KPK.

Dalam kaitan ini KPK bisa sadar atau tak sadar dimanfaatkan untuk 'nabok' AU. Jika KPK sadar dimanfaatkan, artinya, KPK sekubu dengan SBY. Sebaliknya, jika KPK tak sadar dimanfaatkan tangannya oleh SBY untuk nabok AU, maka KPK saat ini dalam posisi 'dibenturkan' dengan SBY. Seolah-olah SBY merekayasa proses hukum di KPK---hal yang tentu saja ditolak KPK.

Sangat berbahaya jika sampai gerbong SBY beradu kambing dengan gerbong KPK. Karena itu kekuatan sipil di Indonesia perlu menyikapi hal ini dengan kritis dan memperkuat dorongan bagi SBY dan KPK agar tak terpancing. Biarkan proses hukum mengalir dengan logika hukum, bukan dengan logika politik. Logika hukum adalah bukti, bukti, bukti.

Mungkin sekali pada awalnya ada motif politik di balik pelengseran AU. Akan tetapi ketika AU sudah tersangka maka ranahnya sudah ranah hukum. Bagi hukum, motif (politik, dengki, dendam, dst) tidak penting. Motif bukanlah unsur dalam pasal suatu tindak pidana. Unsur inti tindak pidana hanya peristiwa hukum: adanya subjek pelaku, perbuatan, dan kerugian atau akibat.

Untuk membenturkan gerbong KPK dan SBY tentu memerlukan alat dan alat ini adalah HMI-KAHMI. AU terindikasi kuat sedang nabok lawannya (KPK dan SBY) dengan nyilih tangan HMI-KAHMI. Judulnya, AU balas nabok nyilih tangan HMI-KAHMI. Indikasi ini terlihat dengan konsolidasi alumni-alumni HMI di rumah AU pasca penetapan dirinya sebagai tersangka, lalu muncul pernyataan dari seorang Ketua KAHMI Mahfud MD, serta terlihat dari isi pidato pengunduran diri AU dari Ketum Partai Demokrat.

Dalam konteks ini, jika benar adanya---kalau pun tidak benar tetap sebaiknya diwaspadai, kader HMI-KAHMI perlu kritis dengan situasi. Jangan sampai dimanfaatkan untuk melakukan tekanan/intervensi terhadap proses hukum projustisia. Efeknya sangat berbahaya bagi supremasi hukum. Lebih jauh lagi dapat menganggu pilar negara demokrasi, yakni kekuatan yudikatif.

HMI-KAHMI tidak bisa dianggap enteng. Jumlahnya ribuan dan tersebar di berbagai universitas dan lembaga negara dan swasta di dalam dan luar negeri. Jika kekuatan ini kompak melawan atas penetapan tersangka salah satu kader terbaiknya (AU) maka bukan tak mungkin melahirkan daya rusak yang cukup signifikan bagi penegakan hukum.

Kita ambil contoh. Taroklah HMI-KAHMI kompak, bisa saja mereka menyandera anggaran KPK melalui mekanisme di DPR RI, atau mendesakkan perubahan UU KPK juga melalui mekanisme legislative review di DPR RI. Desakan eksternal bisa dilakukan oleh ribuan kader HMI. Sedangkan di internal DPR RI kader KAHMI bisa bekerja melakukan itu.

Contoh di atas ekstrim sifatnya tapi bukan tak mungkin terjadi. Penulis sendiri percaya bahwa HMI-KAHMI masih solid nasionalismenya dan antikorupsi, bukan berjuang untuk kepentingan sempit kelompoknya saja. Namun tetap sebaiknya waspada jangan sampai dimanfaatkan sehingga contoh ekstrim ini terjadi betulan.

Lobi HMI-KAHMI dikenal cukup kuat. Bahkan, di internal KPK pun ada alumni HMI memegang posisi-posisi kunci yang menentukan, sebut saja Abraham Samad, Busyro Muqoddas, dan Abdullah Hehamahua (Penasehat KPK).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun