Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Legitimasi Presiden 2014

28 Januari 2014   12:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yusril Ihza Mahendra mendalilkan adanya potensi krisis legitimasi presiden dan wakil presiden terpilih tahun 2014 mendatang. Hal ini tak terlepas pasal-pasal UU Pilpres telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dimana menurut Yusril, batalnya pasal-pasal UU Pilpres tersebut terhitung sejak putusan MK dibacakan, bukan berlaku ke depan tahun 2019.

Sebenarnya, bukan pertama kali Yusril mempersoalkan legitimasi sebuah jabatan. Kali ini ia mempersoalkan legitimasi presiden dan wakil presiden terpilih 2014. Sebelumnya, ia pernah mempersoalkan legitimasi jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Jauh ke belakang, Partai Bulan Bintang (PBB) dengan Yusril sebagai Ketua Umumnya pernah mempersoalkan legitimasi UUD 1945 karena tidak mencantumkan Piagam Jakarta.

Karena itu, sikap Fraksi PBB di MPR/DPR menghendaki agar jiwa yang hilang dalam Piagam Jakarta dikembalikan ke dalam UUD 1945, sebagaimana dinyatakan dalam konsiderans Dekrit Presiden 1959 bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan menjadi bagian tak terpisahkan dari UUD 1945 (Tempo, edisi 36/XXX/5, 11 November 2001, h. 20).

PBB menghendaki penerapan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dicantumkan kembali dalam Pasal 29 UUD 1945. Dengan kata lain, PBB menghendaki NKRI diatur dengan hukum syariat atau hukum islam. Ini yang tak boleh dilupakan oleh anak bangsa menyangkut sepak terjang PBB dan Yusril di masa lalu.

Yusri Ihza Mahendra menyatakan tekad untuk tidak akan surut sedikit pun dari pendiriannya memperjuangkan Piagam Jakarta secara demokratis dan konstitusional.

"Kita akan terus memperjuangkan agar Piagam Jakarta---yang merupakan hasil dialog golongan nasionalis dan Islam---masuk dalam UUD 1945 baik sekarang maupun yang akan datang. Namun, kita akan memperjuangkan hal itu melalui cara-cara demokratis, sah, dan konstitusional," kata Yusril dalam pidatonya yang disampaikan pada perayaan Milad PBB di Stadion Utama Glora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 24 Agustus 2003 (Kompas, 25/8/2003, h. 6).

Namun demikian, sekalipun legitimasi UUD 1945 digempur sedemikian rupa oleh kelompok gerakan Islam syariat, dengan Yusril termasuk di dalamnya, namun secara de facto UUD 1945 tetap eksis. Hal ini terjadi karena semua elemen negara mendukung keberadaan UUD 1945 seperti versi saat ini (tanpa Piagam Jakarta di dalamnya). Disamping bahwa sebagian besar rakyat tidak mempersoalkan legitimasi UUD 1945 tanpa Piagam Jakarta tersebut. Yang mempersoalkan hanya sebagian kecil kalangan pengusung gerakan Islam syariat.

Begitupun dengan konteks legitimasi presiden dan wakil presiden terpilih 2014 mendatang. Sepanjang semua elemen negara---eksekutif, legislatif, yudikatif, auditif, dll---tak mempersoalkannya maka tak ada masalah legitimasi itu dalam kenyataannya. Apalagi jika rakyat banyak, yang note bene memilih presiden dan wakil presiden bersangkutan, tak mempersoalkan. Maka, presiden dan wakil persiden terpilih tetap legitimate.

Legitimasi presiden dan wakil presiden tidak hanya soal yuridis, apatah lagi yang mempersoalkan legitimasi hanya segelintir orang yang kecewa, sekuat apapun argumennya, melainkan yang lebih penting adalah penerimaan elemen negara dan rakyat. Sama dengan pemberotanakan merupakan perbuatan illegal, akan tetapi jika didukung sebagian besar rakyat sebuah negara dan kemudian eksis menjalankan kekuasaan negara, maka pemberontak itu menjadi penguasa yang sah.

Apalagi yang dipersoalkan Yusril di sini konteksnya hanya pendapat (opini), yang sama sekali tak mengikat. Yang mengikat bukan opini, melainkan perundang-undangan yang sah dan putusan hakim. Hakim telah memutuskan dan itulah yang mengikat, apapun opini orang. Bangsa Indonesia perlu bersatu menghadapi gempuran gerakan Islam syariat dan para penganggu stabilitas negara.

(Sutomo Paguci)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun