SEBETULNYA, konflik Syiah-Sunni di sampang kecil saja diselesaikan andai saja pemerintah bertekad untuk itu. Sayangnya pemerintah cq. Menag bertendensi memihak Sunni, jemaat Syiah disuruh tobat/tercerahkan/samakan persepsi dulu baru boleh pulang kampung. Jadilah konflik ini berlama-lama.
Susah kalau begitu caranya. Mengadili keyakinan Syiah dengan standar keyakinan Sunni. Padahal, eskalasi konflik 'kan cuma kelas kampung. Tapi dibiarkan berbulan-bulan, sampai ulang tahun per Agustus 2013 ini, tanpa ketegasan penyelesaian. Eh pemerintah malah memihak.
MUI Sampang juga tak bisa diharapkan. Tokoh ulama Sampang, yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama se-Madura (Bassra), juga cenderung memihak Sunni. Terlihat jelas saat dialog di acara ILC tvOne, Selasa, 25 Juni 2013 lalu.
Pun, MUI Pusat tak tegas dan jelas menetapkan pendirian sejak awal. Baru belakangan ini, di Jakarta, Selasa, 30 Juli 2013, MUI melalui Ketua Komisi Kerukunan Antar-umat Beragama MUI, Slamet Effendi Yusuf, menyatakan pengungsi Syiah harus dipulangkan ke kampungnya.
Dari situasi ini gampang dilihat bahwa pangkal soal berlarut-larutnya konflik SARA di Sampang ini adalah karena rendahnya itikad baik pemerintah menyelesaikannya. Pemerintah terlalu banyak menenggang kaum Sunni intoleran di Sampang. Ini ironis sekali. Para agresor kok ditoleransi. Yang benar saja.
Perintah Presiden SBY, pada Menang Suryadharma Ali, untuk memimpin penyelesaian konflik Sunni-Syiah di Sampang, tak bisa diharapkan. Alasannya, ya itu tadi, Menag bertendensi kuat memihak. Syiah diminta "tercerahkan" (baca: tobat) dulu baru boleh pulang kampung. Menag ini mestinya ditendang saja dari tim penyelesaian konflik, kapan perlu sekalian dipecat saja pejabat tak becus begini.
Sekalipun konflik Sunni-Syiah ini kelas kampung tapi sifatnya prinsip. Yakni, berakar dari hak asasi manusia terutama hak kemerdekaan beragama yang dijamin konstitusi. Oleh karena itu, bila bawahan presiden tak becus menangani konflik ini maka presiden harus mengambil alih langsung. Ini bencana konstitusi.
Saya membayangkan presiden mengunjungi langsung pengungsi Syiah di Sidoarjo, sekalian bermalam di sana, tentu dengan bawa jurnalis sebanyak-banyaknya karena tipe presiden kita ini 'kan hobinya pencitraan, ya tak apa-apa demi kebaikan. Serap aspirasi mereka dengan murni.
Lalu, nah ini yang dramatis, kapan perlu SBY bawa langsung pengungsi itu pakai bus ber-AC, ke desanya di Sampang sana. Jika perlu SBY sendiri yang menyetir busnya. Sesampai di Sampang bermalam sekali lagi di sana. Sampai beres.
Sesekali presiden bergaya koboi sedikit. Gaya di luar kotak. Tak usah terlalu protokoler dan jaga wibawa berlebihan. Toh, presiden selayaknya berada di garda depan dalam memimpin gerakan penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia warga negara. Sama dengan saat SBY melakukan hal yang sama terhadap pemberantasan korupsi.
(SP)