Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Mas, Korupsi Tidak Hanya Nyolong Uang Negara

7 November 2013   11:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:29 2438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13837994551764547746

[caption id="attachment_276497" align="aligncenter" width="600" caption="ILUSTRASI ( http://harvardpolitics.com/world/fighting-corruption-in-india/ )"][/caption] Saya tergerak menuliskan artikel ini karena sering terbaca tulisan dan komentar dari "Penganut Agama PKS", mengutip istilah Gatot Swandito, bahwa yang namanya korupsi itu artinya merugikan keuangan negara dan dilakukan oleh PNS atau penyelenggara negara. Orang swasta tidak bisa dijerat kasus korupsi. Benarkah? Tindak pidana korupsi tidak hanya bermakna nyolong uang negara. Ada banyak sekali varian korupsi yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kerugian keuangan negara. Varian korupsi demikian dimasukkan dalam UU Tipikor. Dalam hubungan ini bisa dipahami seorang politisi bermulut besar berani sesumbar siap digantung di Monas bila melakukan korupsi Rp 1 rupiah saja. Kata "korupsi" di sini barangkali dimaknai bahwa ybs tidak nyolong uang negara, kalau pun ada menerima pemberian maka itu dari orang swasta dan ini tidak dianggapnya korupsi. Dari 60 macam tindak pidana korupsi dan percobaan tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor (UU No 31/1999 dan perubahannya UU No 20/2001) hanya 15 jenis tindak pidana yang terkategori merugikan keuangan negara. Sebagian besar (45 macam) tindak pidana korupsi lainnya tidak bersifat merugikan keuangan negara. Suap-menyuap merupakan salah satu contoh tindak pidana korupsi tanpa kerugian keuangan negara jika uang suapnya bukan berasal dari keuangan negara. Selebihnya dapat berupa ikut serta, membantu, menghalangi penyidikan perkara korupsi, pemalsuan dokumen untuk pemeriksaan administrasi, lalai dalam pengawasan, dll. Mari kita lihat Pasal 12 a UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), yang terkategori varian suap, dan kebetulan didakwakan kepada mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dan Ahmad Fathanah (AF), dalam kapasitas AF sebagai pelaku penyertaan (deelneming) bersama-sama LHI, vide Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. "Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4  (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya." Unsur-unsur Pasal 12 a UU PTPK tersebut di atas adalah: 1. pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2. menerima hadiah atau janji; 3. diketahui atau patut diduga; dan 4. untuk menggerakkan agar pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Perhatikan, sama sekali tidak ada unsur menggunakan atau merugikan keuangan negara dalam Pasal 12 a UU PTPK di atas. Suap-menyuap memang tak harus menggunakan uang negara. Orang swasta pun bisa menyuap pegawai negeri atau penyelenggara negara, seperti didakwakan kepada Arya Abdi Effendi dan Juard Effendi dari PT Indoguna Utama. Termasuk orang-orang yang ikut serta atau sekedar membantu suatu tindak pidana yang merugikan keuangan negara (Pasal 2 dan 3 UU PTPK), namun tidak mendapat imbalan atau kickback dari keuangan negara, tetap dapat dijerat pidana korupsi dengan dasar Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Orang yang turut serta atau membantu tersebut bisa siapa saja, mungkin PNS, pejabat negara, orang swasta, famili, dsb. Asal ia terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi, dengan berbagai variannya, dapat diseret ke proses hukum dengan sangkaan sama dengan pelaku utama. Dalam kasus LHI, misalnya, pelaku utamanya adalah LHI. Sementara pelaku penyertanya adalah AF selaku perantara LHI pada PT Indoguna Utama. Gerbong tersangka kasus ini selebihnya adalah orang swasta. Tak ada halangan hukum sama sekali bagi KPK untuk menangkap mereka yang terlibat. (Sutomo Paguci)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun