Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Romantisme Chauvinistik Plat BA

7 Oktober 2012   10:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:08 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_202975" align="aligncenter" width="458" caption="Abbey Road, Foto: The Beatles"][/caption] Lagi jalan di provinsi tetangga tiba-tiba melintas mobil berplat BA (Sumatera Barat---tempat tinggal penulis sekarang). Spontan mata menoleh. "BA!" kata temanku. Kebayang jika lagi jalan di Papua tahu-tahu melintas mobil dengan plat BA, reaksinya pasti lebih dramatis "kok, bisa." Kebayang lagi jika sedang jalan kaki di Abbey Road, London, tiba-tiba melintas mobil berplat BA, reaksinya pasti takjub "kok, bisa"---karena itu mustahil! Apalagi kalau sampai ketemu orang Minang di negeri seberang. Ngobrol ke sana ke mari pakai bahasa Minang. Wow, ada perasaan romantisme chauvinistik yang laten. Ini sering kualami. Apalagi, dan lagi, jika ketemu orang sekampung di negeri orang. Ini juga sering kualami. Romantisme chauvinistiknya lebih laten. Wajar saja ada perasaan chauvinistik menggeliat di kedalaman perasaan ketika bertemu orang Indonesia di negara asing, apalagi jika orang se-provinsi, lebih apalagi jika se-kabupaten, dan lebih lebih apalagi jika se-desa/sekelurahan. Dan, pantas saja pebulu tangkis Susi Susanti dan Alan Budikusuma sampai menitikan air mata ketika bendera merah putih berkibar diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya saat keduanya memperoleh medali emas dalam Olimpiade Barcelona tahun 1992. Suasana dan kebatinan stadion waktu itu memang sangat mendukung untuk makin dramatisnya susana, sebagaimana terlihat dalam siaran televisi. Tapi yang ini asli nasionalisme, bukan chauvinisme. Sekalipun di negerinya sendiri orang seperti Susi dan Alan acap didiskriminasi karena etnisnya. Mau buat KTP saja susah; buat paspor juga. Untung saja di zaman Gus Dur berbagai peraturan diskriminatif etnis dan rasial, dihapus. Tapi tetap belum menghilangkan praktik diskriminasi etnis dan rasial di negeri ini, sepenuhnya. Sering membayangkan ditilang polisi "priiiiiit!" nyaring suara peluit polisi....tahu-tahu polisinya orang Tionghoa! Aih, betapa kerennya. Seorang teman pernah kuingatkan ketika bilang "eh, jangan belanja di sana, itu punya orang China---bikin kaya orang China saja," katanya cuek. Tanpa sadar paham yang berbahaya begini muncul melalui kata-kata. Inilah yang sebaiknya kita hilangkan, terutama esensinya.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun