Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tragedi 1965-66: Pemerintah Berwatak Preman Jahat!

2 Oktober 2012   00:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:24 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah Pemerintah RI cq. Presiden RI cq. Menkopolhukam RI Djoko Suyanto menolak meminta maaf terkait tragedi kemanusiaan tahun 1965-66. "Kita mesti melihat dengan kacamata tahun 1965 . Ada apa? Pemberontakan PKI. Jangan sekadar (tuntut pemerintah) minta maaf saja tanpa melihat kejadian yang sebenarnya di balik peristiwa 1965 itu," kata Djoko di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (1/10/2012), sebagaimana dikutip Kompas.com. Inilah watak preman itu!

Sekalipun PKI memberontak tidak menghilangkan kewajiban hukum kepada rezim yang berkuasa dan sistem peradilannya untuk mengadili para pemberontak itu. Tidak main sikat, main babat, main eksekusi saja tanpa melalui proses peradilan. Ada tak kurang tiga juta rakyat mati terbunuh dalam penumpasan PKI tersebut. Sangat banyak rakyat yang mati terbunuh tanpa tahu apa salahnya.

Karena bangsa ini tidak memutus mata rantai pelanggaran hak asasi manusia maka otomatis tidak ada pelajaran untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan. Lihat saja. Berpuluh tahun setelah kejadian tragedi kemanusiaan tahun 1965-66 tersebut, yakni tepatnya tahun 1980-an dan tahun 1997-98, tragedi serupa kembali terulang lagi. Dan tidak ada jaminan tidak akan terulang kembali di masa depan.

Tahun 1980-an terkenal dengan penembakan misterius (petrus) terhadap terduga preman kriminal. Tahun 1997-98 terkenal dengan eksekusi penghilangan paksa tanpa melalui sistem peradilan terhadap aktivis pro-Reformasi, termasuk 13 orang aktivis yang masih hilang dan diduga kuat sudah tewas. Dalang terhadap dua kejadian ini belum diadili hingga saat ini.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun