GENCARNYA fatwa-fatwa sesat terhadap aliran keagamaan dalam Islam, dan kuatnya personil Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpolitik praktis dengan mendukung pasangan calon kepala daerah tertentu dengan dalil ayat-ayat kitab suci, telah menjadikan MUI sebagai bunker pengaman yang menghembuskan angin segar dari dalam bagi kaum Wahabi Modern dan Khawarij Modern.
Kaum Khwarij adalah aliran keagamaan radikal dalam sejarah Islam abad ke-7 dimana mereka dengan mudah mengkafirkan musuh-musuh yang dianggap tak sejalan, dengan menghalalkan cara-cara teror bahkan pembunuhan terhadap lawan-lawan ideologis dan politik. Siapapun yang gemar mengkafirkan, menyesatkan golongan yang tak sepaham dengan dirinya, membunuh, dan mendukung aksi terorisme abad modern, disebut sebagai Khawarij Modern.
Sementara itu, kaum Wahabi atau Salafi adalah aliran keagamaan abad ke-18, yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahhab, yang bertekad bulat memurnikan ajaran agama kapan perlu dengan cara-cara kekerasan, peperangan, dan pembunuhan. Gerakan pemurnian ajaran agama demikian di abad modern disebut sebagai Wahabi Modern.
Gejala ini setidaknya tercermin di dunia maya dan media sosial bagaimana kuatnya dukungan kaum Wahabi Modern dan Khawarij Modern terhadap fatwa-fatwa sesat yang dikeluarkan MUI terhadap Syiah, Ahmadiyah, dll. Bersamaan dukungan mereka terhadap gerakan terorisme di Indonesia seperti dilakukan oleh Abu Bakar Baasyir, terpidana 15 tahun penjara dalam kasus terorisme.
Kaum Wahabi atau Salafi memandang negara yang tidak didasarkan pada hukum Islam sebagai Thogut. Begitupun Pancasila disebutnya sebagai Thogut. Bahkan menghormat bendera merah putih dalam upacara bendera pun dianggap haram dan Thogut. Karena itu, gerakan ini sangat keras dan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta membahayakan laju pembangunan. Tidak heran jika sistem hukum dan masyarakat sipil cenderung menentang mereka dan karenanya mereka bergerak diam-diam di bawah tanah.
Gerakan mereka menggeliat bergairah manakala MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap aliran agama non-mainstream di Indonesia. Pasalnya, langkah MUI ini dinilai cocok dengan ideologi mereka yang bermaksud memurnikan ajaran agama kapan perlu dengan cara-cara keras dan tegas.
Dari dalam negeri MUI menghembuskan angin segar bagi gerakan Wahabi dan Salafi. Dari luar negeri, khususnya Arab Saudi, dukungan kuat berupa pendanaan nyaris tak terbatas terus menghembuskan angin daya hidup bagi gerakan ini. Jadi lengkap. Di dalam mendapat angin, dari luar mendapat angin pendanaan. Klop.
Sebaliknya, MUI menjadi monster menakutkan bagi kaum aliran keagamaan non-mainstream alias minoritas di Indonesia. Kaum minoritas harap-harap cemas atas keluarnya fatwa-fatwa sesat dari MUI. Sebab, fatwa-fatwa sesat tersebut dapat dijadikan dasar legitimasi tindakan bagi kaum garis keras untuk melakukan represi terhadap kaum minoritas. Seperti terjadi dalam kasus represi terhadap jemaat Ahmadiyah, Syiah di Sampang, dll. Fatwa MUI diakui atau tidak telah menjadi dasar tindakan di level lapangan untuk melakukan represi.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H