Dengan berprinsip praduga tak bersalah, pengusaha Hartati Murdaya Poo pada dasarnya adalah "korban". Yakni, korban dari sistem birokrasi yang korup. Mana mungkin seorang pengusaha mau sukarela memberikan uang sampai miliran kepada seorang pejabat. Pasti karena sistemnya memang memaksa pengusaha untuk melakukan hal demikian.
Sebagai warga saya yakini betul tidak akan mau mengeluarkan uang untuk berbagai sogokan jika memang tanpa sogokan sistem akan berjalan adil, terbuka, dan cepat. Mendingan uangnya untuk kepentingan lain. Toh orang yang disogok itu bukan kerja rodi melainkan sudah digaji negara.
Namun demikian, apapun pembelaannya tidak menjadikan sogok-menyogok menjadi benar. Sogok menyogok tetap melanggar hukum. Sama kedudukan pelanggaran pihak yang menyogok dan pihak yang menerima sogok. Karena pada dasarnya aturan hukum melarang sogok-menyogok. Sogok-menyogok hanya kreasi dunia praktik saja.
Hanya saja, kadar kesalahan penerima sogok (pejabat) lebih besar dibandingkan warga yang menyogok. Karena pejabat memiliki kekuasaan dan kewenangan yang harusnya digunakan secara benar untuk melayani setiap warga negara secara adil, transparan, dan cepat. Sebaliknya warga tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan demikian.
Karena itu, hukuman pidana bagi si pejabat, dalam hal ini Bupati Buol Amran Batalipu, jika kelak ia terbukti melakukan perbuatan dan dapat dipertanggungjawabkan pidana atas perbuatannya itu, haruslah lebih berat dibandingkan Hartati Murdaya Cs.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H