[caption id="attachment_196733" align="aligncenter" width="475" caption="Menurut Komnas HAM, larangan itu melanggar konstitusi. Sumber foto: tempo.co"][/caption] Diberitakan, pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, masih menunda pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) bagi umat Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan yang ada di Desa Manis Lor, Cigugur. Ada sekitar 5.000 lebih warga yang sampai saat ini tidak bisa memiliki e-KTP. Hal ini disebabkan Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak memiliki kewenangan karena belum ada peraturan dari pemerintah pusat (tempo.co, 2/9). Keadaan ini sangat memprihatinkan. Negara dalam hal ini Departemen Dalam Negeri dan pemerintah daerah bersangkutan tidak memahami implementasi dari ketentuan hak asasi manusia (HAM) yang tercantum dalam UUD 1945 khususnya hak beragama (Pasal 28E, 28I, 29). Disoreintasi konstitusi Depdagri menjalar ke tingkat daerah seperti di Kabupaten Kuningan. Saya yakin betul bahwa masalah kesulitan pembuatan KTP ini tidak hanya di Kabupaten Kuningan. Sebab tidak hanya di Kabupaten Kuningan ada aliran jemaat Ahmadiyah, Syi'ah, al-Qiyadah Islamiyah, Jam’iyyatul Islamiyah, aliran kepercayaan Sunda Wiwitan, dll. Di Kabupaten Sampang, misalnya, umat Syiah kesulitan membuat KTP. Seperti dituturkan Anggota Tim Advokasi Kasus Sampang Andreas Hartono, dalam wawacana Metro TV, Senin (27/8) sore. Ada perempuan penganut Syiah yang jelas-jelas berjilbab tapi dalam identitas KTP-nya beragama Kristen karena tidak dibolehkan memakai agama Islam dalam KTP. Pemerintah daerah menjadi diskriminatif demikian karena aturan formulir isian untuk pembuatan e-KTP dari Depdagri memang membuka peluang untuk itu. Tidak ada penjelasan dalam formulir isian e-KTP bahwa Syiah dan Ahmadiyah masuk dalam kategori agama Islam, sesuai keyakinan umat Ahmadiyah dan Syiah. Atau, tidak ada kolom kosong lain di bawah list agama resmi untuk agama-agama yang tidak tercantum dalam daftar. Harusnya, formulir isian e-KTP mencantumkan satu kolom agama khusus yang dikosongkan. Misalnya, di kolom agama tertulis: a. Islam, b. Kristen, c. Hindu, d. Budha, e. Konghucu, f. lainnya....(tuliskan). Lalu, dibuat penjelasan bahwa aliran-aliran agama sesuai keyakinan masing-masing umat menginduk ke agama yang diyakini umat bersangkutan. Kembali diingatkan bahwa hak beragama merupakan HAM yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Konstitusi hanya menyebut ‘bebas memeluk agama’ atau ‘hak beragama’ atau ‘merdeka memeluk agama’. Sama sekali tidak ada ditemui dalam UUD 1945 bahwa yang dimaksud ‘agama’ di sana adalah ’sunni’ atau ‘ahlus sunnah waljama’ah’. Juga, tidak ada ditemui dalam UUD 1945 bahwa yang dimaksud ‘agama’ di sana hanya terbatas pada Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Bahkan, agama-agama ini sama sekali tidak ada disebutkan tegas (explicit) dalam UUD 1945. Karena itu, mau tak mau yang dimaksud ‘agama’ oleh UUD 1945 adalah semua agama tanpa kecuali.[] ------------ Referensi: tempo.co, Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan Tidak Bisa Ikut E-KTP
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H