[caption id="attachment_194082" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi/pemudaindonesiabaru.blogspot.com"][/caption] KORUPSI adalah salah satu 'bisul' yang tumbuh di pantat negeri ini. Bisul yang sayangnya tak mau pecah-pecah. Kalau pecah 'kan bisa mengering dan sembuh. Gara-gara itu bisul tak mau pecah-pecah mengakibatkan jalan negeri ini terseok-seok. Siapa yang mampu memecahkan bisul itu? Tahun ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan berusia 9 tahun--KPK berdiri tanggal 19 Desember 2003. Bagaimana keluaran hasil dari lembaga penyidik dan penuntut extra ordinary dibidang pemberantasan korupsi ini? Gebrakannya memang nampak tapi belum cukup berkontribusi menaikkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK). IPK Indonesia cuma naik rerata 0,2 per tahun dalam 9 tahun usia KPK. Tahun 2011 lalu IPK Indonesia versi Transparency International (TI) adalah 3,0 dari skala 10--0 berarti sangat korup, 10 berarti sangat bersih. Indonesia masih negara terkorup di dunia, peringat ke-100 dari 183 negara. Memang masih ada institusi lain yang berwenang menyidik dan menuntut perkara korupsi, yakni kepolisian dan kejaksaan, namun kedua lembaga ini terbukti gagal menjalankan perannya. Cukuplah 67 tahun usia Republik membuktikan bahwa kedua lembaga ini telah gagal memberantas korupsi. Coba kita logikakan secara sederhana. Dengan tingkat korupsi seperti sekarang saja Indonesia bisa lumayan bergerak maju, misalnya dibandingkan negara-negara di Afrika. Apalagi jika korupsi di Indonesia minimal seperti di Selandia Baru dan Singapura. Kita yakin Indonesia harusnya lebih maju dari keadaan saat ini! Bagaimana mau maju jika APBN ditengarai bocor mencapai 30%-55% tiap tahunnya. Tahun 2012 ini saja APBN diperkirakan bocor 55% (sekitar Rp.700 triliun)--sumber di sini. Bagaimana dengan pemberantasan korupsi sukarela di internal birokrasi? Sama tidak menggembirakannya. Sudah 67 tahun usia NKRI namun penyakit 'birokrasi kompleks' sarat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih menjangkiti aparatur negara ini. Mulai dari mengurus KTP, IMB, pendirian PT, masuk sekolah, urus perizinan, melamar kerja, dan sebagainya masih sarat berbagai pungutan liar. Suap menyuap dalam penegakan hukum juga masih marak. Walaupun tiap sebentar tersiar khabar aparat tertangkap tangan karena suap akan tetapi belum cukup kuat untuk membersihkan birokrasi sepenuhnya dari korupsi. Dukungan politis dari eksekutif-puncak (presiden/perdana menteri) dan legisltaif terbukti sangat berpengaruh dalam pemberantasan korupsi sebagaimana dicontohkan negara lain seperti Hongkong, Finlandia dan Korea Selatan. Hal ini karena kerja penegakan hukum selalu akan bersentuhan dengan kebijakan politik. Namun yang terjadi di Indonesia dukungan politis demikian sulit didapat. Boro-boro dukungan politis, lembaga eksekutif berpucuk di Presiden dan legislatif (DPR/DPRD) berkubang dengan praktik korupsi. Tiap sebentar anggotanya dicokok KPK--namun tetap belum mampu membersihkan kedua lembaga ini dari korupsi. Bagaimana mau mendukung, kedua unsur kekuasaan negara ini pada sibuk membela diri dan melakukan manuver serangan balik. Mengutip SBY, "Partai lain lebih korup." Sudah demikian sistemik dan akut korupsi di republik ini. Setiap unsur kekuasan negara (trias politica) telah terjangkiti bisul korupsi di setiap pantat dan persendiannya. Sulit bergerak. Sulit diharapkan lagi. Secara politik, Ormas Nasdem dan Partai NasDem menawarkan peta jalan apa yang disebutnya 'Gerakan Restorasi'--yaitu politik solidaritas; ekonomi emansipatif dan partisipatif; serta budaya gotong-royong--untuk mengatasi masalah bangsa, lebih kurang seperti Restorasi Meiji (1866-1869) di Jepang dan Glasnost (keterbukaan politik) dan Perestroika (restrukturisasi ekonomi dan politik) masa pemerintahan Mikhail Gorbachev di Uni Soviet yang dimulai tahun 1987. Yakni, membongkar masalah bangsa sampai ke akar-akarnya untuk mendapatkan formula perubahan secara besar-besaran pada struktur politik dan ekonomi suatu negara. Gerakan dakwah-politik seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menawarkan Khilafah Islam dan Syariat Islam sebagai satu-satunya masalah bangsa, termasuk masalah korupsi. Mereka gencar melakukan demonstrasi di pusat dan daerah. Selain itu, buletin-buletin dakwah mereka dengan mudah ditemui di masjid-masjid. Memang banyak kritik atas gerakan HTI tersebut. Terutama karena ide gerakannya bersifat utopis, sedangkan yang nampak nyata di permukaan justru dapat dikualifisir sebagai makar oleh karena hendak mengganti dasar negara Pancasila dengan Syariat Islam dan hendak mengganti bentuk negara NKRI dengan Khilafah Islam. Karena itu, bisa dikatakan solusi yang ditawarkan HTI tidak ideal karena justru berpotensi memecah belah bangsa. Bagaimana dengan solusi komunitas dunia maya? Kita tahu, per Mei 2012 lalu ada tak kurang 45 juta pengguna Facebook di Indonesia; ada forum komunitas dunia maya Kaskus dengan jumlah anggota 4,651,460 (saat tulisan ini dibuat) dengan 15.000.000 view tiap harinya; dan ada tak kurang 120.000-an anggota para penulis di blog Kompasiana ini. Saya yakin betul pertukaran ide di dunia maya jauh lebih cepat dibandingkan di dunia nyata. Karena itu, gagasan perubahan cepat atau revolusi lebih mungkin dimulai oleh masyarakat dunia maya. Komunitas dunia maya bisa membangun aliansi untuk mengganti politisi-politisi yang tak pro pemberantasan korupsi. Pilkada Jakarta salah satu contohnya. Peran dunia maya tak bisa dianggap remeh dalam pembentukan opini publik sehingga berkontribusi mengatrol perolehan suara Jokowi-Ahok, yang dipersepsi lebih bersih dibandingkan pasangan Foke-Nara. Ada yang meyakini 90% Kompasianer mendukung pasangan Jokowi-Ahok. Hal yang lebih kurang sama bisa terjadi pada acara politik akbar pergantian presiden tahun 2014 mendatang. Para pengguna dunia maya dapat berperan penting untuk mempengaruhi opini publik pada pilpres 2014, untuk mendudukkan presiden pro agenda pemberantasan korupsi. Jika revolusi abad modern sulit dimulai dari dunia nyata, mengapa tidak dimulai dari dunia maya. Perubahan adalah kata kuncinya.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H