Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Saatnya Dukung Denny Indrayana

29 Agustus 2012   01:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:12 2196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13460665101376983824

[caption id="attachment_195385" align="aligncenter" width="619" caption="Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana (Tribunnews/Dany Permana)"][/caption] Advokat Indra Sahnun Lubis mencecar fisik Denny Indrayana sebagai tidak cocok jadi Wamen dan cocoknya jadi garin masjid, di acara unjuk cakap ILC tvOne, Selasa (28/8) malam. Apa yang dilakukan oleh bung Indra Sanhun tersebut setidaknya keliru dalam dua hal. Pertama, keliru secara etiket pergaulan sosial dan hukum sekaligus karena menyerang fisik orang dan bukan argumennya. Menyerang fisik merupakan delik pidana penghinaan dan Denny bisa melapor ke polisi jika merasa terhina karenanya, sekaligus merupakan wujud argumentum ed hominem. Kedua, keliru karena bernuansa menyerang atau melecehkan profesi garin masjid. Apapun profesi orang adalah baik sepanjang bukan profesi yang sengaja dibuat untuk tujuan kejahatan. Garin masjid adalah pekerjaan yang baik dan sangat terhormat. Salamilah garin masjid kapan perlu dengan dua telapak tangan sekaligus, telapak tangan kanan menyalami dan telapak tangan kiri memegang kepalan tangan si garin masjid dengan hangat. Kalau mau berdebat maka debat saja argumennya atau perilakunya. Bukan menyerang fisik orang atau profesi orang. Dalam debat demikian akan sangat baik jika menjaga jarak emosi dengan apapun, termasuk dengan pendapat sendiri. Biarkan pendapat sendiri itu "hidup" dan mempertahankan dirinya sendiri jika memang ia benar. Saya sendiri entah sudah berapa artikel yang mengkritik keras argumen dan perilaku Denny Indrayana di Twitter. Syukurlah saya belum pernah tergelincir dan mudah-mudahan jangan sampai tergelincir menyerang fisik Bung Denny atau profesi lainnya. Apalagi sampai emosi memperturutkan kemarahan atau kebencian. Saya tak pernah salut dengan orang sepintar apapun dan setinggi apapun jabatan dan kekayaannya tapi memiliki kebencian dan kemarahan dalam dirinya. Kemarahan dan kebencian terhadap siapapun mahluk. Dalam keadaan ini saya paling-paling mengagumi pikiran ybs yang baik saja, tapi tidak pribadi orangnya. Saya akan salut dan sangat hormat kepada siapapun orang yang di hati dan perilakunya tidak ada kemarahan dan kebencian kepada siapapun mahluk. Ia tak suka pada kejahatan dan kerusakan tapi bukan marah dan benci pada orang-nya atau profesi resmi yang legal. Yang ada di hatinya hanya cinta dan cinta. Jika ia tak suka dengan perilaku orang terhadap dirinya atau terhadap keluarganya atau terhadap agamanya maka ia akan bereaksi dengan tepat, bisa dengan memberi penjelasan atau mendebat atau melapor ke aparat hukum--ia menghindari menghakimi pribadi/fisik/diri orang lain. Kalaupun marah bukan ditujukan pada fisik orangnya melainkan pada argumennya. Sehingga bisa saja terjadi saling melotot dan berteriak seperti di film-film Holywood akan tetapi tidak sampai menghina fisik orangnya atau profesinya. Toh, substansi kritik Denny di Twitter sebenarnya baik. Yakni, mengkritik perilaku advokat yang tak baik dan menghalalkan segala cara termasuk melanggar hukum dan etika profesi. Hanya saja penyampaiannya keliru karena menggunakan istilah hukum yang tak tepat ('advokat koruptor') dan memukul rata (menggeneralisasi) setiap orang yang menerima bayaran dari tersangka/terdakwa korupsi sebagai korupsi pula ('mengidentikkan'--hal yang terlarang secara hukum dan etika). Seolah Denny mengatakan bahwa setiap bayaran dari tersangka/terdakwa korupsi otomatis berasal dari uang hasil korupsi. Padahal, tidak setiap kasus korupsi ada uang korupsinya, antara lain kasus penyuap, pemberi gratifikasi, menghalangi penyidikan, membantu korupsi tanpa menerima imbalan, memalsukan dokumen negara, dll. Dalam semua kategori contoh ini tidak ada uang korupsinya. Menerima uang dari hasil korupsi pun adalah hal lain lagi. Seorang advokat, pedagang, dokter, jurnalis, apotiker, dll tidak diharuskan hukum untuk mengetahui detail dari mana uang berasal berikut bukti-buktinya. Asal transaksi jual beli barang atau jasa atau penggajian merupakan transaksi yang legal dan para pihak beritikad baik maka tidak penting asal uang itu. Jika ternyata kemudian diketahui sebaliknya, maka uang pembayaran tersebut hasil kejahatan biarlah hukum yang mengadili para pelakunya. Untuk Denny Idrayana, teruslah anti-korupsi. Banyak warga mendukungmu. Jika ingin lebih siginifikan lagi menyalurkan energi pemberantasan korupsi akan lebih baik jika masuk ke lembaga pemberantasan korupsi secara langsung seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Menjadi seorang birokrat seperti Wamen bukanlah profesi pemberantas korupsi seperti halnya kepolisian, kejaksaan dan KPK. Paling-paling hanya bisa anti-korupsi untuk diri sendiri dan lingkungan kerja saja sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi).[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun