[caption id="attachment_205378" align="aligncenter" width="420" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption] Sejawat saya Prof Dr Yusril Ihza Mahendra SH MA membuat setidaknya tiga kekeliruan dalam berpendapat terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Driving Simulator di Korlantas Mabes Polri tahun 2011 senilai Rp.196,87 miliar. Pertama, Yusril mengatakan Polri yang paling berhak menyidik karena lebih dahulu melakukan penyidikan kasus Driving Simulator tersebut. Faktanya, KPK-lah yang lebih dahulu melakukan penyidikan dengan menetapkan tersangka Mantan Kepala Korlantas Mabes Polri Irjenpol Djoko Susilo, hari Selasa (27/7/2012). Sedangkan Polri baru menetapkan tersangka pada hari Rabu (1/8/2012). Penetapan tersangka adalah konsekuensi dari dinaikkan status penanganan kasus dari penyelidikan (lidik) ke penyidikan (sidik). Kedua, Yusril mengatakan tidak cukup alasan bagi KPK untuk mengambil alih penyidikan kasus Driving Simulator ini dari tangan penyidik Polri, seraya merujuk pada ketentuan Pasal 6, 7, 8, 9 dan 50 UU No 30/2002 tentang KPK. Ia nampak sangat yakin dengan pendiriannya ini karena ikut merumuskan pembuatan UU KPK tersebut. Padahal, alasan pengambil alihan suatu penyidikan kasus korupsi di kepolisian dan kejaksaan oleh KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan 10 UU KPK, bersifat alternatif yang ditandai kata 'atau'. Jadi, tidak semua alasan poin a s/d f dalam Pasal 9 UU KPK tersebut harus terpenuhi semua. Kata "tidak cukup alasan" sebagaimana disebutkan Yusril menyiratkan makna kumulatif. Adapun alasan pengambilalihan penyidikan dan penuntutan oleh KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU KPK adalah:
- a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
- b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
- c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
- d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
- e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
- f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilakukan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika salah satu dari alasan tersebut di atas sudah terpenuhi maka kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK. Bahkan, berdasarkan Pasal 50 UU No 30/2002 tentang KPK, pengambilalihan demikian tidak diperlukan jika pada saat yang sama KPK telah pula melakukan penyidikan. Penyidikan oleh kepolisian dan kejaksaan dalam keadaan demikian segera dihentikan karena kepolisian atau kejaksaan (otomatis) tidak berwenang lagi. Ketiga, Yusril menyatakan presiden SBY bisa saja memerintahkan (baca: intervensi) tentang siapa yang paling berhak menyidik kasus Driving Simulator tersebut, apakah KPK atau Polri. Dengan catatan, kalau presiden mempunyai kewibawaan. Seraya menambahkan bahwa yang tidak boleh diintervensi itu adalah pengadilan. Pernyataan Yusril--dan juga rekan Dr jur Adnan Buyung Nasution dalam wawancara Metro TV, Selasa, 7/8/2012--bahwa presiden bisa saja memerintahkan siapa yang berhak dengan cara memanggil Kapolri dan Ketua KPK dst adalah sesat dan menyesatkan secara hukum. Mengapa? Karena kasus Driving Simulator ini sudah masuk dalam taraf penyidikan projustisia dan karenanya tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif sebagaimana juga diwanti-wanti oleh dan menjadi alasan pengambilalihan penyidikan dan penuntutan oleh KPK tersebut dalam Pasal 9 huruf e UU KPK di atas. Presiden merupakan kekuasaan eksekutif. Tidak ada mekanisme hukum penghentian penyidikan atas perintah presiden, sebagaimana terbaca dalam UU No 2/2002 tentang Kepolisian, UU No 16/2004 tentang Kejaksaan, UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika ada kebuntuan atau permasalahan dalam suatu penyidikan projustisia harus dicari mekanisme penyelesaian menurut hukum. Sangat berbahaya jika presiden atau kekuasaan negara lain di luar institusi hukum melakukan kooptasi terhadap proses hukum, walapun tujuannya baik. Cukuplah terjadi di era Orla dan Orba. ---------------------- Rujukan: - kompas.com - gatra.com - tempo.co
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H