Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Abbah Jappy, Hukum Belanda, dan Hari yang Tak Produktif

1 Agustus 2012   16:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:21 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PADANG -- Betapa tak produktifnya aku hari ini. Dalam hawa panas terik mentari dan semilir angin pebukitan di tepian kota ini, aku hanya mampu melahirkan 9 tulisan. Umumnya berisi kritikan pada pemerintah, dan sedikit sekali kristalisasi permenungan.

Lalu aku singgah ke lapakmu, kawan. Melihat percakapan di sana. Diantaranya polemik Arab Kere vs Abbah Jappy; Mukti Ali vs Abbah Jappy; dan RDP (Revangga Dewa Putra) dengan ciri khas judul pakai tanda petik, "Abbah Jappy Vs. Arab Kere". Seru sekali. Banyak nada emosi di kolom komentar, maklum yang diperdebatkan soal perilaku beragama: dari FPI sampai TPM. Selalu saja perilaku beragama digelincirkan sebagai agama itu sendiri, sehingga mengkritik perilaku beragama dinilai sama dengan mengkritik agama itu sendiri, lantas lahirlah emosi. Kemarahan.

Jadi ingat kata-kata Erianto Anas, yang mungkin sekali dikecam tapi mengandung kebenaran di dalamnya. Kata EA, "Jika anda terlalu sensitif terhadap tulisan dan komentar orang lain, terhadap pendapat orang lain, bagi saya anda lebih cocok di grup silaturrahmi. Atau grup chatting-chattingan." Ha-ha-ha terjentik aku dibuatnya.

Sedangkan aku sendiri lebih emosi ketika seorang teman ogah bayar hutang dibandingkan agama sendiri dikritik orang. Pasalnya, agama tak akan mati gara-gara dikritik, sebaliknya manusia bisa mati karena tak makan. Jadi ingat artikel Komarudin Hidayat, agama punya seribu nyawa.

Mungkin akibat aku kebanyakan pelajari hukum Belanda, demikian kata Bung Bengkellas di kolom komentar lapak Habib Sholeh. Mungkin juga. He-he-he. Yang jelas, andai Bung Bengkellas atau siapapun kecurian (mudah-mudahan tidak terjadi), pakai hukum apa untuk menangkap pencuri itu? Pakai hukum Belanda (KUHP)! Pakai hukum apa untuk mengamankan masjid, gereja, vihara, kelenteng? KUHP! KUHP (Wetboek van Strafrecht) sudah eksis 94 tahun (berlaku tanggal 1 Januari 1918) dan belum mampu ditandingi oleh produk dalam negeri. Itu fakta.

Apakah bisa menangkap pencuri pakai kitab fiqih Syafii, Hanafi, Hambali dan Maliki? Tidak bisa! Tetap juga kembali ke KUHP. Ya, memang, hukum (agama, adat, dan hukum barat) ada proporsinya masing-masing. Dalam lapangan hukum keperdataan warga Indonesia boleh memilih mau pakai hukum apa: hukum agama (misalnya Islam), hukum adat, atau hukum perdata barat. Silahkan pilih suka-suka.

Begitupun KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/B.W.). Sampai sekarang bangsa Indonesia belum mampu membuat KUH Perdata sendiri untuk menggantikan B.W. produk Belanda, yang telah diberlakukan selama 164 tahun atau sejak tanggal 1 Mei 1848. Ini juga fakta.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun