Walhasil, ribuan petani kopi tradisional dari Bengkulu dan Sumatera Selatan migrasi ke pedalaman Jambi dan Riau. Di Jambi, khususnya di daerah Muarasiau dan Jangkat, Kabupaten Merangin. Di sini fasilitas publik amat sangat memiriskan hati. Sekolah dasar tidak ada, yang ada nun jauh di bawah pedusunan sana; jalan raya sangat jelek dengan aspal penuh lobang dan lumpur seperti kubangan kerbau; puskesmas pun sangat terbatas, adanya sangat jauh dari pemukiman penduduk yang menyebar, yang ada aktif cuma bidan desa; listrik PT PLN (Persero) tidak ada; jangan tanya jaringan telepon PT Telkom, sudah pasti tak ada.
67 tahun pasca Indonesia merdeka, tetap tak ada jaminan para petani tradisional di Merangin tersebut tidak akan kembali berpindah. Cepat atau lambat mereka akan kekurangan lahan lagi di tengah peningkatan jumlah anggota keluarga yang harus dihidupi. Belum lagi tantangan dari pemerintah setempat yang sudah beberapa kali hendak mengusir para petani tradisional ini supaya kembali ke kampungnya.
Tahun 2010-2011 saya sempat beberapa waktu di Merangin untuk menyaksikan pada para petani di sana terutama pelaksanaan hak-hak mereka. Ironisnya, yang membantu advokasi kaum tani tradisional di Merangin yang hendak diusir pemerintah setempat, hanya dari kalangan LSM dan jurnalis (seperti dari Radio 68H). HKTI mah boro-boro. HKTI yang penuh diisi para politisi tersebut lebih memilih saling berebut kekuasaan di internal organisasi (menuju 2014?).Â
[/caption] [caption id="attachment_188981" align="aligncenter" width="560" caption="Ladang petani kopi di area hutan produksi (HP), Sungai Lalang, Merangin, Jambi. Doc. Pribadi (2010)"]
Â
[caption id="attachment_188982" align="aligncenter" width="525" caption="Ekspresi Kakak Nikeng, seorang petani kopi tradisional asal Bengkulu di Merangin, Jambi. Doc. Pribadi (2010)"]
Â
[caption id="attachment_188985" align="aligncenter" width="640" caption="Hari-hari akan berlalu. Bunga-bunga akan gugur dan berganti. Sungai ini akan terus mengalir.... Doc. Pribadi (2010)"]
SUTOMO PAGUCI
Â
Â