Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK vs DPR, DPR Lebih Penting

7 Juli 2012   03:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:13 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jauh lebih penting dibandingkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ibaratnya, dalam seluruh sistem bernegara, peran KPK itu tak seujung kuku peran DPR. Jika KPK bubar, perannya masih bisa dijalankan oleh lembaga lain (Polri dan Kejaksaan RI). Sedangkan jika DPR bubar sama sekali tak tergantikan. Negara pasti kolaps.

KPK saja lahir dari rahim DPR. DPR-lah yang melahirkan UU KPK sehingga lahir KPK. Memang, salah satu fungsi konstitusional DPR adalah membentuk undang-undang (fungsi legislasi). Semua UU yang ada di Indonesia harus melalui DPR. Bayangkan itu. Selain membentuk UU, DPR juga melaksanakan fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Anggaran KPK dan semua lembaga negara dibahas dan disetujui oleh DPR.

Sampai-sampai untuk menyatakan perang pada negara lain saja harus persetujuan DPR. Tugas inti dari DPR adalah mewakili rakyat. Sistemnya demikian. Aspirasi rakyat direpresentasikan oleh DPR sebagai kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tidak bisa orang per orang ujuk-ujuk mau membentuk UU sendiri diluar mekanisme ketatanegaraan dan administrasi negara, itu sekedar contoh. Harus melalui sistem di DPR.

Sama dengan warga per orangan atau kelompok yang teriak-teriak bahwa "DPR tak mewakili rakyat dst!" sama sekali tidak menggugurkan eksistensi DPR. Semua fungsi konstitusional DPR tetap melekat pada DPR; tidak bisa dijadikan dasar pengambilalihan fungsi DPR oleh lembaga lain. Ibarat anak yang teriak-teriak bahwa bapak kandungnya adalah bukan bapaknya, tidak akan mengubah apapun.

Termasuk dalam penganggaran pembangunan gedung baru KPK yang menuai pro dan kontra karena belum disetujui DPR. Apapun yang diputuskan diterima atau ditolak oleh sistem di DPR, termasuk pengganggaran gedung KPK tersebut, itulah yang absah secara ketatanegaraan. Demikianlah sistemnya.

Sungguh sangat mengkhawatirkan fenomena ketika lembaga negara dianggap warga tidak berfungsi maka warga dengan inisiatif penuh seolah 'mengambil alih' fungsi negara secara langsung. Antara lain contoh membiayai pembangunan gedung KPK melaui saweran, dimana harusnya melalui sistem penganggaran dalam APBN.

Fenomena diatas beririsan dengan kebiasaan bikin rusuh, tawuran, memukuli copet sampai mati, membakar kantor polisi, merampas tanah milik perusahaan, dan semacamnya...karena menganggap pihak luar tidak memenuhi keinginan dan aspirasinya...semua adalah refleksi kejiwaan warga yang gemar main hakim sendiri (eigenrichting). Idealnya, pemimpin harus berani berbeda pendapat dengan warganya, tidak 'angkat telur' terus demi cari aman popularitas.

Menggerakkan turbin sistem negara yang tidak berjalan dengan sempurna harusnya dengan sistem juga. Bukan ad hoc semau-maunya warga. Apalagi menyuap secara tidak langsung berupa sumbangan (gratifikasi) ke lembaga penegak hukum.[]

Artikel terkait:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun