Hari itu juga hari Kamis seperti hari ini, tepat 25 tahun yang lalu. Sudah satu minggu aku berhenti sekolah dan bertekad bulat jadi petani kopi di tengah belantara bukit barisan. Untuk membuat kebun tentu harus merambah hutan terlebih dahulu, hutan di tepi kebun bapak yang sudah jadi.
Pagi-pagi aku menebang sebatang pohon yang cukup besar. Lingkarannya kira-kira berukuran 1,5 meter. Ada semacam sirip di bagian pangkal pohon, ini yang membuat pangkal pohon jadi lebih besar, sehingga untuk memudahkan menebang dibuatlah semacam pijakan dari batang-batang kayu kecil yang disusun sedemikian rupa, yang tingginya sekitar 3 meter dari tanah. Bapak yang buat pijakan itu.
Hampir seharian menebang pohon itu. Dari pagi sampai sore. Hingga pukul 15 sore pohon tersebut belum juga tumbang. Batangnya nyaris putus dihantam kampak seharian. Hal yang aneh dan tak lazim. Pohon umumnya pasti sudah roboh. Aku nyaris frustasi. Umurku 12 tahun waktu itu.
Akhirnya bapak turun tangan membantu. Naik ke atas pijakan kayu bersusun dan mulai menebang. Bak-buk-bak-buk. Dari atas puncak pohon itu, aku ingat betul, karena aku berada di bawah pohon itu dan terus memperhatikan pohon dan bapak yang lagi menebang...tiba-tiba terbang meluncur seekor binatang panjang mirip seekor ular besar seukuran betis orang dewasa dan panjangnya tak kurang 4 meter. Ular terbang! Ular terbang! Teriakku dan adik. Adik lelakiku berumur 8 tahun dan belum sekolah waktu itu, ia ikut bapak membantuku.
Ular itu terbang melesat dari atas pohon menuju ke sebuah lembah kira-kira berjarak 200 meter dari pohon yang ditebang tersebut. Terbang sangat cepat dan lenyap di dasar lembah berhutan lebat. Kejadiannya berlangsung sangat cepat.
Ini yang lebih aneh lagi. Ular terbang itu mengeluarkan sinar yang sangat terang. Sinarnya berwarna kekuningan. Saking terangnya membuat mata silau memandang tepat ke arah ular terbang tersebut. Sinar matahari sore sekitar pukul 15.15 Wib bahkan kalah terang dibandingkan sinar ular terbang tersebut.
Bapak juga sempat melihat ular terbang itu. Beliau tak kalah takjubnya. Seumur-umur baru kali itu melihat ular terbang. Biasanya hanya cerita legenda saja ada ular bisa terbang, yaitu ular naga. Tapi tetap tak sehebat ular terbang yang bersinar barusan.
Hanya dalam hitungan detik sepeninggal ular terbang tersebut, pohon tadi tumbang seketika. Tumbang setumbang-tumbangnya. Nguik...bumm! Suaranya berdebum menimpa tanah. Angin pun berdebas dibuatnya dan daun-daun berterbangan.
Tidak menunggu lama aku, adik dan bapak pulang. Bergegas kami pulang tanpa bicara satu sama lain. Terus terang pikiran kami berkecamuk dan agak ketakutan.
Malamnya bapak langsung bilang ke emak untuk menyiapkan bubur putih tiga piring. Bapak segera berdoa tolak balak. Mudah-mudahan kami sekelurga tidak diganggu mahluk halus atau apapun dari alam sana. Jangan-jangan ular terbang itu ular keramat piaraan mahluk halus di lembah sana. Hiii.
Keesokan harinya aku demam panas. Satu minggu penuh aku demam.[]