[caption id="attachment_184628" align="aligncenter" width="352" caption="Ilustrasi (shutterstock.com)"][/caption] Ada yang bertanya pada saya, apakah setiap laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus divisum dulu sebelum diproses lebih lanjut oleh aparat kepolisian? Yang bersangkutan mengadukan KDRT yang dilakukan suaminya, akan tetapi hanya kekerasan fisik berupa penganiyaan saja yang ditanya dan diselidiki oleh petugas piket, yang untuk itu terlebih dahulu ybs harus divisum. Sedangkan pengaduan menyangkut tekanan psikis (batin) yang dilakukan suami, dan juga suami yang tidak memberi nafkah lahir, tidak dijadikan perhatian oleh aparat. Ini memang problem lapangan. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa KDRT bukan hanya kekerasan fisik. Kekerasan psikis, penelantaran ekonomi keluarga dan kekerasan seksual adalah juga tergolong KDRT sebagaimana ditentukan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Masing-masing kejahatan KDRT tersebut diancam pidana maksimal 5 tahun penjara (kekerasan fisik), maksimal 3 tahun tahun penjara (kekerasan psikis dan penelantaran ekonomi), dan 15 tahun penjara (kekerasan seksual) atau (alternatif) pidana denda. Terhadap kekerasan fisik akan dilakukan visum et repertum. Visum ini berguna sebagai salah satu alat bukti otentik bahwa telah terjadi kekerasan fisik, diakibatkan oleh apa, dan ukuran lukanya. Polisi, jaksa dan hakim tidak memiliki legitimasi yuridis dan keilmuan untuk menentukan secara persis mengenai bentuk dan penyebab kekerasan fisik demikian. Dokterlah yang memiliki legitimasi yuridis dan keilmuan untuk mengeluarkan visum demikian. Di RSU Dr M Djamil Padang, misalnya, visum terhadap KDRT tidak dikenai biaya apapun alias gratis. Syaratnya, permintaan visum secara tertulis yang diajukan kepolisian harus mencantumkan perihal ‘permintaan visum et repertum KDRT’ dalam rangkap tiga, jadi perihal suratnya tidak hanya berbunyi ‘permintaan visum et repertum’ seperti permintaan visum dalam tindak pidana penganiyaan biasa (tindak pidana umum). Pengaduan dan visum terhadap KDRT berupa kekerasan fisik memang sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, seketika setelah KDRT terjadi. Hal ini agar tanda-tanda fisik bekas penganiayaan tidak keburu hilang. Terhadap pengaduan kekerasan psikis—berupa perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang—juga sebaiknya ditindaklanjuti oleh penegak hukum. Untuk menambah alat bukti dan memperkuat penyidikan penegak hukum dapat meminta ahli (psikiater/psikolog) untuk dimintai pendapatnya mengenai kekerasan psikis ini. Ahli ini bisa kembali dihadirkan di persidangan guna mengungkap kebenaran materil menyangkut kekerasan psikis tersebut. Penting untuk terus memantau pengaduan yang sudah dilakukan. Bila dalam jangka waktu tertentu belum ada tindak lanjut terhadap pengaduan tersebut, jangan ragu untuk menanyakan (sebaiknya tertulis) kepada aparat atau pimpinan tempat pengaduan diajukan. Perlihatkan bukti pengaduan. Kadang kala masyarakat pencari keadilan harus terlihat ‘rewel’ agar pengaduannya cepat ditindaklanjuti. Karena itu, disarankan kepada Kepolisian dalam semua tingkatan memiliki bagian khusus yang menerima laporan KDRT, tidak hanya di Polresta. Mengingat KDRT memiliki kharakteristik dan hambatan psikologis tersendiri bagi pelapor yang umumnya wanita yang dihadapkan kepada petugas piket yang kebanyakan adalah lelaki.[] Artikel terkait:
- Kekerasan Psikis dan Siklus KDRT
- UU KDRT Melindungi Maniak?
- UU KDRT "Legalkan" Penganiayaan dalam Keluarga
- Inkonsistensi Rezim Hukum KDRT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H