Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Istriku Emoh Dipoligami

12 Juni 2012   10:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:04 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_182268" align="aligncenter" width="240" caption="Ilustrasi simbol gender, sumber: dreamtimes.com"][/caption] Ini alasan faktual satu lagi mengapa saya menolak poligami. Sebagai lelaki normal yang kebetulan menikmati sex dengan baik, dan semasa kuliah dulu diberi gelar tidak resmi oleh kawan-kawan sebagai 'Pakar Sex', saya pernah iseng tanya istri perihal poligini. "Say, kalau papa kawin lagi bagaimana?" Huaaaaa, udah deh. Jawabannya sepet gitu. Soal "pakar sex" di atas, benar. Bukan becanda. Walaupun saya kuliah di fakultas hukum, tapi memiliki minat yang beragam dan satu diantaranya adalah bidang seksologi. Otodidak di bacaan-bacaan tentu saja. Jadilah saya menjadi konselor kere yang memberikan nasehat-nasehat gratisan seputar seksologi pada teman-teman mahasiswa (yang melongo-longo keheranan). Balik ke istri yang sepet tadi. Ternyata walaupun pertanyaannya bernada canda tapi aura energi penolakan dipoligini sangat terasa. Udara seperti dipenuhi partikel-partikel penghantar panas. Dalam canda terasa energi negatif berterbangan di sekitar istri. Kayaknya anti banget dia dipoligini. Walau pun bercanda tapi jawaban istri sangat jujur. Intinya ia menolak dipoligini. "Apa tidak lihat dua anak perempuanmu, Pa?" tanya istriku retoris. Penolakan istri benar-benar berasal dari hati, jauh dari lubuk hatinya. Ia tidak pernah menguraikan alasan-alasan filosofis yang bribet dan alasan normatif (agama dan hukum) yang rumit dibalik penolakannya itu. Ia hanya mengemukakan isi hatinya. Disampaikan melalui media kata-kata, juga tatapannya. Bagiku itu sudah cukup.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun