Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bapak Pelaku Poligami yang Gagal

12 Juni 2012   12:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:04 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13395002391990992968

[caption id="attachment_182279" align="aligncenter" width="300" caption="Simbol pria dan wanita, sumber: bp.blogspot.com"][/caption] Akhirnya kuceritakan juga alasan faktual ke-3 mengapa aku menolak poligami. Bapak (alm), yang kelakuannya kadang sangat menyebalkan tapi walau bagaimana pun beliau tetap kusayangi, adalah pelaku percobaan poligami yang gagal. Hari itu adalah hari Minggu. Cuaca sangat panas, sudah tiga minggu tidak turun hujan. Sebenarnya malas sekali diajak emak menemaninya pergi jalan kaki hampir tiga kilo meter jauhnya, hanya untuk melabrak istri muda bapak. Bapak sudah sebulan pergi dari rumah dan tinggal di tempat istri mudanya, yang ternyata pindah tak terlalu jauh dengan rumah kami. Tentu saja bapak tak berani lagi tinggal di rumahnya seperti biasa. Percuma saja di rumah. Ada tiga orang bujang dewasa yang cukup garang berada di rumah: aku, abang, dan adik. Dan, seorang kakak perempuan yang tak kalah ganasnya. Kami berempat melakukan persekutuan menolak poligami bapak. Tapi bapak tetap ngotot. Ia mengendap-ngendap nikah di desa seberang di kabupaten lain. Tidak susah untuk menikahkan dua orang paruh baya, wali sudah meninggal dan wali pengganti juga tak ada, jadinya wali hakim cukup. Tahu-tahu sudah tersiar saja khabar bapak sudah ijba kabul yang kedua kalinya. Benar-benar. Bapak tak mau menceraikan istri tuanya (emak), alasannya masih cinta. Emak pun tak mau repot-repot mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama, karena susah, habisnya surat nikah aja tak punya. Dulu pasca kemerdekaan cuma nikah secara agama sudah cukup. Hampir dua tahun bapak jadi kapten di dua kapal sekaligus. Kedua kapal itu tak terurus dengan baik, bapak keteteran. Ibarat pepatah "harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan". Dengan istri muda tak bertahan lama. Sedangkan istri tua sudah tak seperti dulu lagi. Wanita yang sudah dikhianati bisa saja memaafkan, tapi tak akan pernah bisa melupakan. Ini seperti hukum besi dalam hubungan dua insan anak manusia. Cerita ditutup saat bapak dan emak meninggal sama-sama dalam kesepian dari kasih dan cinta pasangan hidupnya. Mungkin sekali mereka berdua menutup mata seraya melayangkan ingatan tentang masa lalu yang indah bersama pasangan jiwanya.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun