Disitulah relevansi praduga tak bersalah mendapat pijakan faktual. Praduga tak bersalah secara simpel diartikan, seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Mengapa pengadilan? Karena hanya hakim yang diberi kewenangan oleh hukum untuk mengadili orang, untuk memvonis orang bersalah atau tidak. Penulis, sebagai advokat/pengacara, tidak berhak memvonis orang bersalah atau tidak. Jaksa, juga tidak. Polisi, pun tidak. Ormas keagamaan, tidak. Media massa, juga tidak. Admin Kompasiana, juga tidak. Jadi, jika ada "pengadilan oleh pers" sehingga seolah-olah tokoh politik Anu bin Fulan sudah dianggap terlibat korupsi gelanggang olah raga anu, itu bertentangan dengan asas praduga tak bersalah.
Sistem pengadilan mirip sepak bola. Jaksa dan pihak terdakwa (serta advokatnya) berada dalam posisi yang berseberangan, berlawanan. Jaksa kerjanya mendakwa bahwa terdakwa yang bertanggung jawab. Terdakwa diberi kesempatan untuk membela diri. Dan, hakim adalah wasitnya. Sampai hakim membuat keputusan, para pihak (jaksa vs terdakwa/advokat) boleh saling mengajukan tuduhan dan pembelaan. Seimbang. Checks and balances. Ketika putusan sudah dibacakan maka perdebatan harus berakhir. Jika para pihak tak puas, silahkan naik banding atau kasasi.
Karena itu dikatakan bahwa asas "praduga tak bersalah" adalah pondasi hukum negara demokratis dan beradab, selain asas konstitusionalitas. Sebagai pembeda negara hukum (rechtstaat) dan negara kekuasaan (machstaat).
Negara yang tidak menggunakan asas "praduga tak bersalah" adalah negara barbar. Dalam negara kekuasaan seperti dicontohkan Korea Utara, siapapun yang dianggap menentang pemerintah bisa dipenjarakan tanpa perlu diadili segala. Atau, ketika setiap orang merasa berhak "mengadili" pihak lain yang tak sependapat dengan kelompoknya dengan cara kekerasan seperti biasa dilakukan ormas garis keras itu, adalah secuil contoh aksi "main hakim sendiri" (eigenrichting).[]