Pertarungan pemikiran terus terjadi di dunia nyata maupun di dunia maya. Sebut saja diantaranya gerakan #IndonesiaTanpaFPI dan #IndonesiaTanpaJIL. Hastag keduanya dapat dengan mudah ditemui di dunia maya: blog, Facebook, dan Twitter. Bagaimana menyikapinya dari sudut pandang hukum?
Dalam tataran pemikiran, perdebatan dan kampanye demikian sah-sah saja dan justru mencerdaskan jika dilakukan dengan damai: diskusi, pawai, tulisan, dan lain-lain. Sebaliknya, jika melakukan perbuatan kriminal kekerasan maka pelakuknya akan berhadapan dengan aparat hukum. Dengan demikian, harus dibedakan perbuatan kekerasan orang per orang anggota sebuah ormas, jaringan, forum, dan sebagainya, dengan keberadaan institusinya. Pelaku kekerasan tersebut yang diusut aparat hukum, bukan membubarkan institusinya.
Hanya memang menegasikan pihak lain yang ditandai dengan kata "tanpa" tersebut terasa kurang etis bahkan cenderung inkonstitusional. Seolah membangun gerakan untuk membubarkan pihak lain yang tidak sependapat. Jika demikian konteksnya, maka kedua gerakan ini, diprediksi sulit mendapat simpati secara luas terutama dari kalangan intelektual kritis.
Jika hanya sebatas aspirasi untuk pembubaran sebuah Ormas, itu sah-sah saja. Tinggal ikuti saja prosedur yang ditentukan oleh UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU ini menyatakan, pemerintah dapat membekukan Pengurus ormas jika melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban, menerima bantuan asing tanpa persetujuan pemerintah, dan memberikan bantuan asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara. Prosedurnya memang cukup panjang dan rumit, harus melalui serangkaian peringatan secara berjenjang sesuai tingkat daerah di mana kepengurusan ormas yang bersangkutan berada.
Berbeda halnya jika sampai menegasikan hak konstitusional orang lain untuk berkumpul, menyatakan pendapat dan pikiran, adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi.
Hak berkumpul, menyatakan pendapat dan pikiran merupakan hak konstitusional setiap orang. Hak ini dijamin oleh konstitusi UUD 1945. "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya", demikian ditegaskan oleh Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Kemudian pada ayat (3) dinyatakan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Dalam konteks hak konstitusional tersebut, Front Pembela Islam (FPI) sebagai sebuah Ormas dilindungi keberadaannya, sepanjang AD/ART Ormas bersangkutan tidak mengandung muatan yang bersifat melawan hukum. Begitupun anggota FPI dijamin konstitusi untuk berkumpul, menyatakan pikiran, dan sikap. Hal yang sama berlaku pula pada Jaringan Islam Liberal (JIL). Sejauh ini penulis belum menemui satu pun pasal yang menyatakan FPI dan JIL terlarang di republik ini. Yang terlarang justru perbuatan kriminal kekerasan, seperti biasa dilakukan FPI atau siapapun pelakunya.
Penulis sendiri ikut serta sebagai peserta dalam Somasi yang dilayangkan oleh #IndonesiaTanpaFPI pada Kapolri terkait maraknya pembiaran kekerasan atas nama agama akhir-akhir ini. Dimana tujuan somasi ini adalah meminta Kapolri dan jajarannya melakukan reformasi internal supaya kejadian kekerasan atas nama agama tersebut tidak terjadi kembali di kemudian hari. Hanya sebatas itu, selebihnya tidak ikut dalam gerakan "Tanpa FPI" dan "Tanpa JIL".
Sambil terus bertindak kongkret sebisanya, mari membayangkan suatu hari kelak...negeri ini penuh bertabur kasih dan cinta, damai dan bebas dari kekerasan atas nama agama dan kelompok. Toh semua bisa dibicarakan. Hayo, #IndonesiaTanpaFPI dan #IndonesiaTanpaJIL atau siapapun, mana suaranyaaaa?[]
Artikel terkait: Apa Khabar Somasi #IndonesiaTanpaFPI?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H