Sebaliknya, jika semua pengakuan Umar Patek bahwa ia hanya berperan kecil, tidak setuju bom Bali I dan seterusnya, namun menurut penilaian hakim tidak didukung bukti yang meyakinkan menurut hukum, maka hakim mungkin sekali akan memvonis sama dengan tuntutan jaksa, yakni seumur hidup. Hakim tidak terikat dengan tuntutan jaksa.
Sulit diterima pembelaan pribadi Umar Patek bahwa ia berperan kecil dan tidak setuju dengan bom Bali I. Pasalnya, sebagai subjek hukum yang telah dewasa dan matang, ia bisa saja keluar dari rangkaian kegiatan bom Bali I dan bom gereja. Nyatanya, ia tetap ikut juga. Orang dewasa yang cakap bertindak dianggap memiliki otonomi pribadi untuk menentukan sikap, berbeda dengan anak kecil.
Fakta lain yang jangan dilupakan, Umar Patek tidak pernah berusaha menyerahkan diri pasca bom gereja malam Natal tahun 2000 dan bom Bali I tahun 2002. Malah terus melakukan aktivitas terorisme di berbagai negara sebagai seorang buron teroris, termasuk di Desa Jalin Jantho tahun 2010. Jika bukan oleh dorongan ideologi yang kuat, mustahil ia melakukan semua itu.
Vonis maksimal bagi Umar Patek sepadan dengan perannya dalam aksi terorisme yang menelan korban nyawa tak kurang total 218 orang, dengan rincian 16 jiwa korban bom gereja malam Natal tahun 2000 dan 202 jiwa korban bom Bali I tahun 2002, belum termasuk korban luka berat dan ringan serta kerusakan harta benda.
Resiko lain jika Umar Patek divonis ringan adalah, bila pembinaan di lembaga pemasyarakatan mengalami kegagalan, sehingga setelah bebas ia bisa kembali ke kelompoknya untuk menebar teror di mana-mana seperti beberapa mantan terpidana teroris lainnya.
Di atas semua itu, mari kita serahkan putusan akhirnya pada majelis hakim yang telah diberi mandat oleh undang-undang.[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI