Teks-teks agama dipahami orang per orang secara berlainan. Ada yang memahaminya lantas lahirlah pola pikir, pola kalbu, dan pola sikap yang begitu cinta dengan Tuhan bersamaan begitu takut dengan larangan Tuhan. Perwujudannya adalah cinta kasih pada semua. Itulah kaum sufi.
Sebaliknya, ada pula yang memahmi teks-teks agama lantas lahirlah pola pikir, pola kalbu, dan pola sikap beragama maujud seolah jadi Tuhan itu sendiri. Yakni manakala merasa berwenang untuk menuntut, mengadili dan kemudian menjatuhkan putusan bersalah terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Merasa berwenang menjadi polisi, jaksa, dan hakim sekaligus.
***
Dalam keadaan demikianlah relevansi pentingnya pemahaman resolusi konflik. Agar setiap warga negara paham anatomi konflik dan tahu cara menyelesaikannya. Aksi main hakim sendiri (eigenrichting) melalui intimidasi psikis dan kekerasan fisik kepada kelompok atau orang yang tak sependapat merupakan manifestasi dari ketidakpahaman soal resolusi konflik.
Manusia sebagai mahluk sosial tidak mungkin bebas dari konflik sama sekali. Jika terjadi konflik maka resolusinya pertama-tama diselesaikan secara kekeluargaan, musyawarah, dialog, sebagai jati diri bangsa. Jika musyawarah tidak tercapai kata sepakat maka diselesaikan melalui mekanisme hukum perdata, pidana, atau tata usaha negara. Alternatif lain melalui perantara dalam apa yang disebut alternative dispute resolution (ADR), seperti negosiasi, konsiliasi, atau mediasi. ADR sangat direkomendasikan karena proses dan hasilnya relatif dapat menjaga "muka" para pihak yang berkonflik, sebab target penyelesaiannya adalah konsensus sama-sama menang (win-win solution).
Andai terjadi kebuntuan dialog, salah satu pihak atau semua pihak tidak patut mengklaim paling benar. Sebagai catatan kaki, kaitannya dengan klaim mengklaim, memang hanya norma kepatutan pergaulan sosial yang mungkin diterapkan. Sanksinya adalah sanksi moral. Bila klaim tersebut bergerak ke arah intimidasi psikis dan fisik seperti kekerasan dan penganiyaan, barulah berlaku norma hukum. Para pelaku kekerasan dan penganiayaan dapat diseret ke proses hukum pidana dan perdata. Secara pidana bisa dengan pasal perusakan, penganiayaan, perbuatan tidak menyenangkan, pencemaran nama baik, memasuki pekerangan orang lain tanpa izin, dll yang relevan. Secara perdata bisa digugat dengan pasal perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad).
Sebelum dialog dilakukan para pihak sebaiknya menyepakati mekanisme dialognya (semacam tata tertib/tatib) supaya tidak terjebak dalam debat kusir. Harus disepakati parameter atau batasan-batasan dalam dialog. Tanpa tatib, kemungkinan debat kusir dalam dialog sangat besar.
Jika dialog tidak menghasilkan kesepahaman dan para pihak merasa tidak puas serta tetap ingin menyelesaikan konflik supaya tidak menggantung, solusinya dengan menyerahkannya ke proses ADR atau mekanisme hukum. Nanti, mediator atau hakim yang memutuskan siapa yang benar.
***
Mengapa sampai terjadi aksi main hakim sendiri terhadap diskusi buku Irshad Manji adalah karena para pihak, terutama dari pihak yang kontra diskusi buku (FPI, MMI, FUI, FBR dll), mengabaikan resolusi konflik di atas.
Sampai Irsah pulang ke negaranya tidak pernah terjadi dialog tersebut walaupun pihak penyelenggara sudah membuat acara diskusi buku dengan format diskusi terbuka, artinya, setiap orang boleh hadir dan tidak terkecuali pihak yang kontra supaya dapat menyuarakan pendapatnya. Ironisnya, pihak kontra bahkan tidak tahu bahwa yang didiskusikan itu adalah buku yang sama sekali tidak membahas atau mengkampanyekan tema gay, homoseksual, dan lesbian. Melainkan buku yang membahas tema ketuhanan, kebebasan dan demokrasi, serta cinta, hubungannya dengan sikap beragama.
Akibatnya, pihak yang kontra diskusi buku itu jadi hantam kromo. Tidak bisa membedakan antara diskusi buku sebagai salah satu hak konstitusional setiap orang di satu pihak, dengan sosok Irshad Manji dengan orientasi seksualnya pada pihak lain. Singkat kata, pihak kontra pada intinya menolak sosok Irshad Manji-nya.
Sekedar perbandingan. Pada saat yang sama kita tidak mendengar aksi serupa dilakukan oleh MMI, FPI, FUI dan FBR kepada "Habib H", misalnya, yang diduga mencabuli belasan anak dan sekarang perkaranya telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Uraian ini bukan berarti penulis menyetujui sikap kekerasan serupa pada "Habib H", melainkan sekedar menguraikan perbedaan perlakuan yang sangat kentara.
Mengapa penulis tidak beropini terhadap orientasi seksual seseorang adalah karena memang tidak ada pasalnya. Orang mau gay, lesbian, homosek, dan seterusnya tidak ada pasal hukum positif (hukum negara) yang dilanggar sepanjang tidak mengganggu orang lain alias untuk dirinya sendiri.Dugaan pencabulan oleh "Habib H" baru bisa diproses saat orang lain merasa dirugikan dan mengadu ke Kepolisian.
Sejauh ini, Irshad Manji tidak terlihat mengajak-ajak orang lain atau berkampanye soal lesbian ke publik di Indonesia dan dunia.
***
Sebaliknya, opini penulis mungkin sekali dipandang berpihak kepada diskusi buku Irshad Manji, adalah karena diskusi buku tersebut merupakan perwujudan dari hak konstitusional setiap orang untuk berkumpul dan menyatakan pendapat sebagaimana dijamin Pasal 28E UUD 1945 jo. Pasal 23-25 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Singkatnya, diskusi buku itu memang boleh secara hukum. Tak ada pasal yang dilanggar.
Pendirian penulis demikian bukan berarti menyetujui praktik lesbian, gay, dan homoseksual. Penulis menentang penyimpangan seksual ini. Akan tetapi penentangan demikian diletakan dalam koridor hukum. Tidak main hakim sendiri. Katakanlah sikap ini sebagai pembeda bangsa barbar dengan negara hukum yang beradab. Sebab, jika setiap orang merasa berhak memaksa orang lain, apa bedanya dengan kaum barbar. Bukankah Nabi Luth a.s. sendiri tidak pernah mengintimidasi dan memaksa dengan kekerasan pada istri dan anaknya yang homoseksual.
Di sini, pihak yang kontra dengan konsepsi "demokrasi" dan "HAM" biasanya akan mengatakan: "HAM, itulah agama baru saat ini." Penulis ingin mengatakan, HAM itu ditolak atau diakui tidak mengurangi daya keberlakuannya karena HAM itu melekat pada diri setiap orang sejak lahir dan pada diri setiap warga negara yang beradab. Jadi, pernyataan "HAM adalah agama baru saat ini" lahir dari kekurangpahaman konsepsi HAM.
Coba. Jika memang benar-benar menentang HAM; apa mau pihak yang kontra dilarang sholat, dirampas hartanya secara sepihak, dilarang pergi sekolah, dilarang bekerja, dilarang pengajian, dilarang takliman, bayi-bayinya dibunuh, dan seterusnya?! Itulah aturan HAM yang melarang praktik demikian! Coba, apakah aturan HAM yang melarang semua ini bertentangan dengan hukum agama?
Terakhir tapi tidak kalah penting, negara hakikatnya adalah "organisasi bersama" tempat bernaung setiap orang dengan latar belakang yang berbeda. Negara kita bukan milik agama tertentu tapi milik semua orang beragama.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H