Akibatnya, pihak yang kontra diskusi buku itu jadi hantam kromo. Tidak bisa membedakan antara diskusi buku sebagai salah satu hak konstitusional setiap orang di satu pihak, dengan sosok Irshad Manji dengan orientasi seksualnya pada pihak lain. Singkat kata, pihak kontra pada intinya menolak sosok Irshad Manji-nya.
Sekedar perbandingan. Pada saat yang sama kita tidak mendengar aksi serupa dilakukan oleh MMI, FPI, FUI dan FBR kepada "Habib H", misalnya, yang diduga mencabuli belasan anak dan sekarang perkaranya telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Uraian ini bukan berarti penulis menyetujui sikap kekerasan serupa pada "Habib H", melainkan sekedar menguraikan perbedaan perlakuan yang sangat kentara.
Mengapa penulis tidak beropini terhadap orientasi seksual seseorang adalah karena memang tidak ada pasalnya. Orang mau gay, lesbian, homosek, dan seterusnya tidak ada pasal hukum positif (hukum negara) yang dilanggar sepanjang tidak mengganggu orang lain alias untuk dirinya sendiri.Dugaan pencabulan oleh "Habib H" baru bisa diproses saat orang lain merasa dirugikan dan mengadu ke Kepolisian.
Sejauh ini, Irshad Manji tidak terlihat mengajak-ajak orang lain atau berkampanye soal lesbian ke publik di Indonesia dan dunia.
***
Sebaliknya, opini penulis mungkin sekali dipandang berpihak kepada diskusi buku Irshad Manji, adalah karena diskusi buku tersebut merupakan perwujudan dari hak konstitusional setiap orang untuk berkumpul dan menyatakan pendapat sebagaimana dijamin Pasal 28E UUD 1945 jo. Pasal 23-25 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Singkatnya, diskusi buku itu memang boleh secara hukum. Tak ada pasal yang dilanggar.
Pendirian penulis demikian bukan berarti menyetujui praktik lesbian, gay, dan homoseksual. Penulis menentang penyimpangan seksual ini. Akan tetapi penentangan demikian diletakan dalam koridor hukum. Tidak main hakim sendiri. Katakanlah sikap ini sebagai pembeda bangsa barbar dengan negara hukum yang beradab. Sebab, jika setiap orang merasa berhak memaksa orang lain, apa bedanya dengan kaum barbar. Bukankah Nabi Luth a.s. sendiri tidak pernah mengintimidasi dan memaksa dengan kekerasan pada istri dan anaknya yang homoseksual.
Di sini, pihak yang kontra dengan konsepsi "demokrasi" dan "HAM" biasanya akan mengatakan: "HAM, itulah agama baru saat ini." Penulis ingin mengatakan, HAM itu ditolak atau diakui tidak mengurangi daya keberlakuannya karena HAM itu melekat pada diri setiap orang sejak lahir dan pada diri setiap warga negara yang beradab. Jadi, pernyataan "HAM adalah agama baru saat ini" lahir dari kekurangpahaman konsepsi HAM.
Coba. Jika memang benar-benar menentang HAM; apa mau pihak yang kontra dilarang sholat, dirampas hartanya secara sepihak, dilarang pergi sekolah, dilarang bekerja, dilarang pengajian, dilarang takliman, bayi-bayinya dibunuh, dan seterusnya?! Itulah aturan HAM yang melarang praktik demikian! Coba, apakah aturan HAM yang melarang semua ini bertentangan dengan hukum agama?
Terakhir tapi tidak kalah penting, negara hakikatnya adalah "organisasi bersama" tempat bernaung setiap orang dengan latar belakang yang berbeda. Negara kita bukan milik agama tertentu tapi milik semua orang beragama.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H