[caption id="attachment_186431" align="aligncenter" width="620" caption="Irshad Manji (kompas.com)"][/caption] Aksi organisasi massa dan Polres Jakarta Selatan serta Polsek Pasar Minggu membubarkan acara diskusi peluncuran buku Allah, Liberty and Love edisi bahasa Indonesia berjudul Iman, Cinta dan Kebebasan karya Irshad Manji, Jum'at (4/5), menarik dikupas dari sisi hukum. Apakah benar ada dasar hukum bagi massa untuk membubarkan acara demikian? Sudah benarkah tindakan polisi membubarkan acara demikian? Pasal yang dilanggar polisi Sesuai hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini berdasarkan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tata urutan atau hirarki peraturan perundang-undangan mulai yang tertinggi sampai yang terendah adalah: UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berhubung format acara tersebut adalah diskusi buku, maka secara hukum dapat dikategorikan sebagai acara unjuk pendapat atau menyatakan pendapat dalam forum dimana orang-orang berkumpul. Ada norma hukum tertinggi yang membolehkan acara demikian? Ternyata ada! "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat," demikian ditegaskan Pasal 28E UUD 1945. Subjek hukum dari norma pasal ini adalah "setiap orang", siapa saja, bukan hanya warga negara, tapi setiap orang. Dengan demikian, norma hukum tertinggi sudah membolehkan acara diskusi atau unjuk pendapat tersebut. Pasal 28E UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 23 dan 24. Pertanyaan selanjutnya, bolehkah acara demikian dilarang alias dibubarkan? Jawabannya ternyata, tidak boleh! Karena kategori penormaan dari Pasal 28E UUD 1945 tersebut adalah "hak", artinya, kewajiban bagi negara untuk melindunginya. Kongkritnya, kewajiban Polsek Pasar Minggu untuk melindungi pelaksanaan hak tersebut. Pengabaian dari kewajiban melindungi setiap orang yang menjalankan hak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtsmatige overheids daad) berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Apa artinya ini? Jelas sekali bahwa Panitia Diskusi Salihara tersebut berhak menggungat Negara Republik Indonesia cq. Presiden Republik Indonesia cq. Kepala Kepolisian Republik Indonesia cq. Kapolda DKI Jakarta cq. Kapolres Jakarta Selatan cq. Kapolsek Pasar Minggu. Polisi bisa lolos dari potensi gugatan jika memiliki alasan pembenar menurut undang-undang. Sebagaimana disampaikan Kapolsek Pasar Minggu, alasan pembubaran itu karena panitia acara tidak memiliki izin keramaian berdasarkan Pasal 13 UU 2/2002 tentang Kepolisian. Ternyata, Pasal 13 UU 2/2002 tersebut sama sekali tidak mengatur perihal perizinan melainkan tugas pokok Kepolisian yaitu a. memelihara keamaan dan ketertiban masyarakat, b. menegakkan hukum, dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan membaca redaksional pasal ini, kepolisian justru melanggar tugas pokoknya. Karena berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah hak konstitusional yang tergolong sebagai hak asasi manusia (HAM) dan itu harus dijaga supaya tertib, ditegakkan jika ada yang mengganggu, dilindungi, diayomi dan diberi pelayanan oleh Kepolisian. Polisi tidak bisa menjadikan alasan meminimalisir bentrok massa sebagai alasan pembenar tindakannya. Alasan demikian tidak ada diatur oleh undang-undang. Justru harusnya polisi mengamankan kedua massa, terutama massa yang kontra dengan diskusi buku tersebut. Perizinan bukan sebagai dasar pembubaran acara. Jika pun polisi mengetahui ada acara diskusi yang belum ada izinnya, segera berikan izin ditempat dan langsung dijaga acaranya. Karena mengambil opsi membubarkan sama artinya merampas hak konstitusi setiap orang yang dilindungi UUD 1945 dan UU No 39/1999 tentang HAM. Penulis sangat menganjurkan Goenawan Mohamad dkk untuk menempuh langkah hukum dengan menggugat Kepolisian RI serta organisasi massa yang ikut membubarkan acara tersebut. Ini momen yang tepat untuk memberikan advokasi kepada publik tentang urgensi perlindungan terhadap kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat. Mumpung mendapat tempat di media massa. Pasal yang dilanggar organisasi massa Sama dengan pasal yang dilanggar Kepolisian, organisasi massa pun dapat digugat dengan dasar perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yang sama. Merampas hak orang lain merupakan perbuatan melawan hukum. Dimana membubarkan paksa acara diskusi Salihara yang nota bene merupakan hak konstitusional berkumpul dan menyatakan pendapat sama dengan merampas hak orang lain secara paksa dan ini jelas melanggar hukum. Secara pidana, pimpinan dan massa FPI dll tersebut dapat dikenai pasal-pasal penghinaan dan fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 310, 311 dst KUHP. Hal ini terutama karena tuduhan massa bahwa Irshad Manji mengusung paham gay dan lesbian dalam bukunya tersebut telah dibantah sebagai fitnah oleh Goenawan Mohamad selaku penyelenggara diskusi Salihara. Jika organisasi massa FPI dan lain-lain tersebut tidak sependapat dengan ide dalam buku Irshad Manji maka solusi yang proporsional adalah lawan dengan buku juga. Ide pemikiran dilawan dengan aksi pemaksaan kekerasan dan ini dibeking oleh aparat merupakan tindakan yang kejam dan memalukan. Apa lagi yang lebih kejam selain larangan berpendapat dan berpikir bagi seorang ilmuwan dan penulis buku? Terakhir. Pemberangusan terhadap ide pemikiran merupakan tindakan memalukan di negara yang mengaku sebagai negara demokratis. Apa bedanya Indonesia dengan negara komunis totaliter jika tidak memberi ruang kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H