Dalam pada itu, terdakwa korupsi yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau terbukti tapi bukan merupakan suatu tindak pidana, akan dibebaskan dengan setengah hati. Disebut setengah hati karena bukan bebas murni, sehingga membuka peluang jaksa untuk mengajukan kasasi, sedangkan dalam KUHAP jelas terhadap vonis bebas atau lepas tidak diperkenankan kasasi. Memang ada adagium hukum "lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah", akan tetapi implementasi dari adagium ini harusnya jika terdakwa tidak secara sah dan menyakinkan terbukti bersalah melakukan pidana yang didakwakan, maka vonisnya adalah bebas murni.
Serba tanggung dalam vonis perkara korupsi membuat ketidakpastian hukum. Kasus menjadi berlarut-larut: banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Disamping itu, wibawa hukum dan aparat hukum menjadi terciderai di mata warga negara. Hukum seolah main-main saja.
Sekali lagi, kasus Nazaruddin membuktikan premis di atas.
Namun demikian, paling kurang vonis "ringan" Nazaruddin tersebut terbukti tidak melokalisir pertanggungjawaban hukum dalam peristiwa yang didakwakan kepada Nazaruddin seorang. Sebab, dalam pertimbangan putusan, disebutkan dengan gamblang peranan tersangka lain dan saksi-saksi yang berpotensi jadi tersangka dalam perkara ini. Disamping itu, disebutkan pula dibagian akhir putusan, barang bukti dikembalikan pada jaksa penuntut umum untuk perkara lain, artinya, bisa untuk perkara dengan tersangka Angelina Sondakh atau lainnya.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H