Seorang sejawat senior saya, advokat Virza Benzani, tak habis-habisnya heran melihat realita persidangan di pengadilan kita. Suatu hari ia bercerita soal pengamatannya atas persidangan kasus korupsi. Bagaimana seorang panitera pengganti kasus korupsi termangu-mangu bahkan terkantuk-kantuk di persidangan tanpa terlihat sedikit pun mencatat dialog pertanyaan hakim dan terdakwa. Dengan kondisi begini entah apa yang akan dituangkan panitera pengganti itu ke dalam Berita Acara Persidangan, sedangkan persidangan itu menyangkut nasib orang dan uang negara.
Pada saat bersamaan terlihat pula hakim menasehati terdakwa yang belum tentu bersalah, dengan kalimat-kalimat yang menjurus kepada putusan bersalah. Penulis sendiri pernah melihat langsung kejadian serupa. “Loh, itu ‘kan tidak boleh!,” serga seorang hakim kepada terdakwa. Padahal, sudah jelas hakim dilarang keras menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa (Pasal 158 KUHAP).
Nanti ada gilirannya hakim berpendapat. Hakim hanya boleh berpendapat dalam putusan. Tugas hakim hanya memeriksa dan kemudian, pada akhir rangkaian persidangan, memutus suatu perkara apakah terdakwa bersalah atau tidak atau apakah gugatan perdata terbukti atau tidak.
Pada suatu hari di masa yang lalu sempat pula penulis menyatakan dalam sebuah pleidoi bagaimana hakim harusnya sebagai “wasit” namun ikut jadi “pemain” dalam suatu persidangan. Lucunya, ini memang dibolehkan dalam hukum kita.
Buktinya, dalam setiap putusan perkara pidana hampir selalu hakim membahas pembuktian unsur-unsur dalam pertimbangan putusannya, mirip apa yang dilakukan jaksa penuntut umum dalam surat tuntutan, sedangkan tugas pembuktian dalam suatu perkara pidana harusnya atau idealnya dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum yang mewakili negara dan masyarakat. Dalam keadaan ini hakim tak ubahnya Jaksa Penuntut Umum (semi-prosecutor).
Soal “wasit” merangkap “pemain” tersebut sudah menjadi perhatian Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sejak lama. Dimana dalam pengadilan pidana di Indonesia, hakim tidak memeriksa fakta perkara langsung dari sumbernya (fresh evidence) tetapi dari BAP yang sudah disiapkan oleh penyidik dalam pemeriksaan fase pra-adjudikasi. Pemeriksaan hakim dalam sidang pengadilan demikian menjadi cenderung bersifat konfirmasi terhadap keterangan yang sudah pernah diberikan dalam BAP. Dalam keadaan seperti itu kedudukan hakim pun menjadi semi-prosecutor. (Luhut MP Pangaribuan et.all, Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Akusatorial dan Adversarial Butir-Butir Pikiran Peradi untuk Draf RUU-KUHAP, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2010, h. 28)
Hakim idealnya menjaga jarak yang sama terhadap para pihak yang membawa perkaranya ke pengadilan. Benar-benar menjadi pengadil atau wasit yang hanya memimpin persidangan, memeriksa perkara, dan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah, apakah dakwaan jaksa yang benar atau pembelaan terdakwa yang benar, dengan pertimbangan putusan yang jernih dan rasional. Sehingga tidak perlu terjadi hakim mengesampingkan alat bukti yang signifikan demi dapat menghukum terdakwa yang seharusnya dibebaskan.
Keanehan yang memiriskan belum berhenti sampai di situ. Ketika, misalnya, terdakwa terbukti tidak bersalah di pengadilan dan kemudian divonis bebas atau lepas oleh hakim, jaksa penuntut umum nyaris selalu melakukan upaya hukum kasasi. Padahal sudah jelas dan gamblang hukum acara pidana di Indonesia melarang keras upaya hukum banding dan kasasi terhadap putusan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa (Pasal 67 dan 244 UU No 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, jo Pasal 26 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Hakim memang boleh bahkan wajib menggali, mengikuti dan memahami hukum materil berupa nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 Ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009). Namun menjadi kontroversial mana kala hakim dan jaksa menggali atau mengesampingkan hukum acara (hukum formil). Pasalnya, hukum acara menganut asas lex stricta, apa yang tertulis adalah mengikat, sehingga dikatakan di luar yang tertulis adalah bukan hukum acara alias tidak boleh dilakukan dalam perspektif beracara.
Praktik peradilan kasasi terhadap putusan bebas selalu didasarkan pada yurisprudensi Mahkamah Agung No K/275/Pid/1983 dan Kepmenkeh RI No. M-14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Yurisprudensi dan Kepmenkeh ini sangat kontroversial karena mengesampingkan hukum acara yang diatur undang-undang. Logika saja, masak aturan selevel Keputusan Menteri bisa-bisanya mengesampingkan undang-undang (KUHAP).
Hukum memang untuk keadilan tapi harus tertib supaya ada kepastian hukum. Jika tidak tertib dan gagah-gagahan mentang-mentang pegang kuasa, namanya bukan negara hukum (rechtstaat)melainkan negara kekuasaan (machtstaat) barbar!