Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Air Kemasan Haram tapi Boleh Diminum

3 Maret 2014   21:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" (UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3)

Jika berangkat dari bunyi konstitusi di atas, jelaslah, bahwa privatisasi atau komersialisasi air menjadi bersifat inkonsitusional sepanjang negara tidak lagi berkuasa atas air dan air itu bukan dipergunakan sebesar-besarnya buat kemakmuran rakyat.

Kata penghubung "dan" digarisbawahi untuk menegaskan komulatif dari kemutlakan kekuasaan negara dan dipergunakan sebesar-besarnya buat kemakmuran rakyat. Dalam hubungan ini, jika negara berkuasa tapi keluarannya tidak dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat maka tidak memenuhi ketentuan konstitusi di atas.

Taroklah negara berkuasa atas bumi dan air, yang dibuktikan dengan kekuasaan untuk membuat regulasi, memberikan izin, mengawasi, menjatuhkan sanksi dst kepada perusahaan-perusahaan air kemasan yang melanggar aturan. Akan tetapi, hasil akhir dari penggunaan kekuasaan di bidang bumi dan air ini patut dipertanyakan, apakah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat? Atau jangan-jangan yang makmur paling besar justru kalangan pengusaha kapitalis.

Privatisasi oleh kalangan swasta (apalagi asing) di sektor air kemasan akan membuat yang "sebesar-besarnya makmur" adalah dunia swasta (asing). Rakyat paling jauh hanya mendapat imbal balik secara tidak langsung melalui pajak-pajak yang dibayar perusahaan air kemasan tersebut, menjadi tenaga kerja, menjadi suplier, dan rekanan lainnya. Yang paling makmur tetap saja si pengusahanya.

Atas dasar logika konstitusional demikian, maka keuntungan kalangan swasta yang mengelola air kemasan tidak boleh besar-besar. Ini supaya rakyat Indonesia yang menikmati keuntungan yang sebesar-besarnya. Pengusaha untung kecil-kecil saja. Kalau pengusaha ogah untung kecil, ya, sekalian enggak usah investasi di sektor ini. Biar BUMN/BUMD saja yang investasi.

Supaya logika itu "masuk" dalam praktik di lapangan tentunya harus dirumuskan dalam aturan hukum negara. Sayangnya, aturan yang ada, yakni UU Sumber Daya Air (UU 7/2004) justru membuka celah swastanisasi dan privatisasi pengelolaan air dalam kemasan.

Hasil akhirnya dapat kita lihat dengan mudah saat ini. Yang paling makmur adalah pengusaha swasta atau swasta asing seperti Danone (Aqua), Nestle dll. Sulit dibayangkan bila suatu hari nanti harga air kemasan mampu mengalahkan harga bahan bakar minyak (BBM). Ironisnya, bangsa ini diam-diam menikmati iklim inkonstitusional ini nyaris tanpa gugatan berarti. Buktinya, nyaris tak ada gejolak penolakan dan malah menikmati air kemasan "tanpa dosa" itu, tiap hari.

Dari alur argumen demikian bisa dipahami jika PP Muhammadiyah mengajukan uji materi terhadap UU Sumber Daya Air tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Dalam suatu kesempatan Ketua Umum PP Muhammadiyah KH Prof Dr Din Syamsudin sampai mengatakan "Bagi saya, air kemasan itu haram" untuk mengatakan penolakannya atas tak berkuasanya negara dan penguasaan asing terhadap sumber daya air.

Dalam perspektif modern tentu saja "penguasaan negara" atas sumber daya air tersebut tidak hanya dimaknai bahwa implementasi usaha air kemasan harus/wajib dilakukan oleh negara cq. BUMN/BUMD. Bisa saja usaha demikian dilakukan oleh swasta dalam negeri atau asing, dengan tetap negara berkuasa selaku regulator dan penegakan hukum. Syaratnya, perusahaan swasta enggak boleh untung besar-besar. Ini supaya terpenuhi ketentuan "dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" dalam konstitusi.

Perusahaan air kemasan besar dan kecil wajib diaudit berkala. Jika hasil audit menunjukkan keuntungannya masih terlalu besar, maka pajaknya dinaikkan. Untuk itu perlu amandemen aturan pajak progresifnya supaya lebih "keras" lagi. Lama-lama pengusaha swasta juga enggak akan betah. Ujung-ujungnya BUMN/BUMD yang akan menguasai sektor usaha air kemasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun