[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Masih saja sering ditemui Penuntut Umum limpahkan perkara ke Pengadilan Negeri tanpa bersamaan memberikan turunan surat pelimpahan dan surat dakwaan kepada tersangka/kuasa hukumnya. Surat dakwaan baru diberikan pada waktu sidang pertama (pembacaan surat dakwaan). Padahal, sudah tegas-tegas Pasal 143 Ayat (4) KUHAP menyatakan, "Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau Penasehat Hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri." Pemberian surat dakwaan (biasanya tanpa surat pelimpahan) kepada terdakwa di sidang pertama (biasanya dengan agenda pembacaan surat dakwaan), jelas melanggar norma "bersamaan" pelimpahan perkara tersebut di atas. Dan ini tegas melanggar KUHAP dan hak tersangka/terdakwa. Tersangka/terdakwa dihadapkan secara dadakan pada dakwaan, sehingga sulit untuk membela diri dalam rentang waktu yang memadai. Seperti kejadian hari ini, Selasa (11/3/2014). Penulis diberitahu oleh keluarga klien yang ditahan di sebuah rutan bahwa tersangka belum diberi surat dakwaan, sementara perkaranya telah dilimpahkan ke Pengadilan pada tanggal 6 Maret 2014 lalu. Segera saya telepon jaksa penuntut umum yang menangani dan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Saya sebutkan posisi klien yang belum menerima surat dakwaan, seraya mengutip ketentuan Pasal 143 Ayat (4) KUHAP di atas, dengan permintaan segera diberikan turunan surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan. "Iya, Pak, nanti akan kami antarkan ke rutan," kata jaksa itu pada saya seolah tanpa rasa bersalah. Seandainya tak ditelepon maka saya yakin betul turunan surat pelimpahan dan surat dakwaan tersebut baru akan diberikan pada sidang pertama. Apalagi bukan rahasia umum bahwa warga masyarakat yang berhadapan dengan hukum awam akan hak-haknya dengan detail termasuk hak mendapatkan turunan surat pelimpahan dan surat dakwaan bersamaan dengan pelimpahan perkara ke pengadilan. Seklebatan, pemberian turunan surat pelimpahan dan dakwaan tersebut remeh saja, sehingga hal yang biasa diabaikan oleh penuntut umum (jaksa). Akan tetapi dampaknya cukup fatal bagi tersangka/terdakwa. Terdakwa jadi tak memiliki waktu yang memadai untuk mempelajari dakwaan dan mengajukan eksepsi. Harusnya, terdakwa sudah memiliki kepastian apakah mengajukan eksepsi (keberatan) atau tidak terhadap surat dakwaan, pada hari sidang pertama tersebut. Namun hal ini tak memungkinkan, berhubung terdakwa baru mendapatkan surat dakwaan pada hari sidang pertama. Solusi yang biasa ditempuh hakim adalah menunda persidangan untuk memberikan kesempatan terdakwa atau kuasa hukumnya untuk mengajukan eksepsi. Tentu saja penundaan sidang demikian sudah bertentangan dengan asas peradilan cepat dan berbiaya ringan. Ironisnya, sering kali hakim membiarkan saja pelanggaran KUHAP demikian. Hakim ringan saja tanpa menegur jaksa dan membiarkan sidang tertunda sekian waktu untuk memberi kesempatan terdakwa atau kuasa hukumnya mempelajari surat dakwaan. Dalam pengamatan penulis di praktik persidangan, perihal pemberian turunan surat pelimpahan dan surat dakwaan pada sidang pertama, yang kemudiaan diikuti penundaan sidang oleh hakim untuk memberikan waktu bagi terdakwa atau kuasa hukumnya buat mempelajari surat dakwaan dan mengajukan eksepsi tersebut, belum menjadi titik fokus pemantauan oleh LSM pemantau peradilan dan Komisi Yudisial. Semoga uraian singkat ini dapat membuka kesadaran bagi penuntut umum (jaksa), hakim, KY dan para advokat tentang urgensi pemberian turunan surat pelimpahan dan dakwaan kepada tersangka bersamaan pelimpahan perkara ke pengadilan. (Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H