[caption id="attachment_300509" align="aligncenter" width="600" caption="Wartabuana.com - Jokowi dan Aher"][/caption]
Hari ini, Selasa (25/3/2014), seratusan orang yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Jakarta Baru (KM-JB) berdemo di Balai Kota Jakarta. Mereka meminta pertanggungjawaban Jokowi atas komitmennya membangun Jakarta selama lima tahun. Hal yang sama pernah terjadi di Solo, sewaktu Jokowi maju sebagai Cagub dalam Pilkada Jakarta 2012 lalu.
Kebalikannya, demo serupa tak terjadi saat Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi meninggalkan jabatannya (berikut janjinya) pada Oktober 2009, di saat Sumbar porak poranda akibat gempa bumi hebat 7,6 Skala Richter tanggal 30 September 2009 lalu, lalu meloncat ke jabatan Mendagri.
Lebih kurang sama, tak terjadi penolakan berupa demo-demo, saat Ganjar Pranowo meninggalkan kedudukannya (berikut janjinya) sebagai anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, karena jadi Cagub kemudian terpilih sebagai Gubernur Jawa Tengah dalam Pilkada 2013 lalu. Pun, penolakan serupa tak terjadi saat Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) digadang-gadang maju sebagai Capres dari PKS.
Sebagian masyarakat nampaknya sadar, bahwa janji pengabdian pada nusa dan bangsa mungkin saja terjadi dalam kedudukan di mana saja: bupati, gubernur, menteri, anggota DPR, duta besar, bahkan presiden. Ketika seorang anggota DPR maju dan terpilih sebagai gubernur, maka janji atau komitmen lama sebagai anggota DPR otomatis berakhir, berganti dengan janji dan komitmen baru sebagai gubernur. Namun poin intinya sama: pengabdian pada nusa dan bangsa.
Demikian pula ketika seorang kepala dinas terpilih sebagai sekda (atau bupati), janji atau sumpah jabatan lamanya sebagai kepala dinas berakhir dan berganti dengan janji dan sumpah baru sebagai sekda (atau bupati). Tidak pernah terjadi selisih paham di sana. Bahwa, sang kepala dinas tidaklah mengingkari janji lamanya sebagai kepala dinas, oleh karena telah terbit janji dan tanggung jawab yang baru, di kedudukan yang baru pula.
Sekedar perbandingan, dalam dunia kepengacaraan demikian pula halnya. Ketika seorang klien menerbitkan surat kuasa baru, yang diberikan pada pengacara baru, maka surat kuasa lama (yang diberikan pada pengacara sebelumnya), untuk urusan yang sama, otomatis gugur. Mandat lama telah berakhir, berganti mandat baru.
Begitupun jabatan walikota, gubernur, menteri, dan presiden poinnya sama-sama pengabdian pada nusa dan bangsa. Anak bangsa yang dianggap mampu menduduki jabatan tersebut, oleh proses politik yang ada, akan didudukan di sana. Ketika jabatan baru diemban, jabatan lama berakhir. Ketika sumpah atau janji baru diucapkan, maka sumpah atau janji di kedudukan lama berakhir (digantikan oleh pejabat baru pula).
Gamawan, Aher, Ganjar dan Jokowi tidak layak disebut mengingkari janji ketika meninggalkan kedudukan lama untuk menduduki jabatan baru, dalam bingkai pengabdian pada nusa dan bangsa. Pasalnya, baik jabatan gubernur maupun presiden sama-sama pengabdian pada nusa dan bangsa, sama luhurnya, namun dengan cakupan tugas yang lebih luas.
Negara ini merupakan organisme politik yang bergerak berdasarkan sistem administrasi dan ketatanegaraan tertentu. Ketika pejabat gubernur berhenti, ia akan digantikan oleh pejabat yang baru dan pejabat yang baru inilah yang meneruskan pekerjaan yang ditinggalkan pejabat lama. Itulah rasional mengapa berhenti dari jabatan politik atau menerima jabatan baru di lingkup negara yang sama tidak bersifat melanggar hukum.
Pun, tidak ada pelanggaran etika politik apapun saat Jokowi memutuskan menerima mandat (penugasan) dari PDI Perjuangan sebagai capres. Sebab, organisasi negara (termasuk pemprov) sudah memiliki sistem administrasi dan ketetanegaraan tertentu, dimana jabatan dan janji Jokowi tetap dijalankan oleh pejabat baru yang menggantikannya (Ahok), andai Jokowi terpilih sebagai presiden.