Mendagri Gamawan Fauzi sempat melemparkan wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah, dari sistem langsung menjadi dipilih DPRD, gara-gara besarnya biaya kampanye seorang calon kepala daerah dalam sistem pilkada langsung, yang ujung-ujungnya berpotensi besar melahirkan pejabat yang korup.
Dikatakan, per Juli 2013 saja, ada 297 kepala daerah terdiri dari gubernur, bupati dan walikota masuk penjara karena berbagai pelanggaran hukum terutama korupsi. Tahun 2012 tak kurang 474 kepala daerah yang berhadapan dengan proses hukum, kebanyakan kasus korupsi.
Seorang calon gubernur membutuhkan uang puluhan miliar untuk berhasil duduk di jabatannya. Sistem pemilihan langsung oleh rakyat, satu orang satu suara, menyumbang beban biaya kampanye yang luar biasa besar. Logika yang dipakai: tanpa kampanye masif maka rakyat tak akan kenal. Semua butuh biaya besar dan ini akan dikembalikan setelah menjabat.
Pada tingkat yang lebih tinggi, pemilihan presiden dan wakil presiden, masih ada anggapan bahwa butuh biaya ekstra besar untuk mengenalkan diri pada warga calon pemilih di seluruh Indonesia. Sebagian memakai jurus "caplok" atau miliki media massa secara langsung, sebagian dengan membeli spot iklan, sebagian lagi dengan menyebarkan pasukan dunia maya. Semua butuh biaya besar.
Anggapan untuk menjadi presiden butuh dana yang ekstra besar sudah tertanam dengan begitu dalam dan seolah telah menjadi standar. Seorang Aburizal Bakrie bahkan pernah mengatakan butuh Rp 3 triliun untuk dana seorang calon presiden.
Apa dinyana, semua anggapan itu dijungkirbalikkan oleh Jokowi, baik sewaktu ikut dalam Pilkada Kota Solo, Pilkada Gubernur DKI Jakarta, maupun saat kampanye bakal calon presiden dari PDI Perjuangan. Jokowi nyaris tidak beriklan di media massa. Sampai saat ini pun tidak terlihat iklan "JKW4P" di televisi dan media massa cetak, sebagaimana halnya gencar dilakukan pesaing seperti Prabowo, Wiranto, Aburizal Bakrie, Mahfud MD, dll.
Sekalipun tak terlihat iklan "JKW4P" di media massa cetak dan elektronik, namun berita Jokowi hampir selalu menghiasi semua media cetak dan elektronik, setiap hari, siang dan malam, berbulan-bulan. Hal ini karena semua sepak terjang Jokowi sangat menarik dan perlu diberitakan karena memang diburu oleh pemirsa dan pembaca media. Kalau media mau laris ya beritakan Jokowi. Mulai soal-soal serius sampai hal remeh temeh tapi menarik seperti tali sepatu Jokowi.
Dengan demikian kampanye mahal atau murah tergantung kandidatnya dan timnya juga. Kandidat yang kurang "menjual" tentu saja butuh biaya besar sekali untuk mendongkrak popularitas. Sebaliknya, kandidat yang "seksi" seperti Jokowi nyaris tak perlu biaya besar untuk nangkring di hampir semua media massa.
So, pikir lagi jika hendak mengubah sistem pemilu (pilkada, pileg dan pilpres) dari sistem pemilu langsung menjadi sistem perwakilan. Asumsi kandidat butuh biaya super besar untuk mengenalkan diri terbantahkan oleh fenomena seorang Jokowi.
(Sutomo Paguci)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H