Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Prabowo-ARB Kartu Mati

6 Mei 2014   19:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:48 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Prabowo Subianto sendiri sudah kartu mati. Apalagi jika diduetkan dengan Aburizal Bakrie (ARB). Sempurnalah sebagai duet kartu mati: Prabowo dengan masa lalu dugaan pelanggaran HAM dan ARB dengan masalah Lumpur Lapindo. Terbayang bagaimana sulitnya "menjual" pasangan ini kelak.

Dengan perolehan suara Gerindra dalam pileg lalu yang hanya berkisar 12%, Prabowo jelas tidak leluasa menentukan pilihan di antara pertarungan manuver koalisi parpol-parpol saingan Gerindra. Pilihan sangat terbatas. Tak ada jalan lain kecuali bergabung dengan partai lain agar terpenuhi kecukupan suara syarat nyapres, 25% suara sah nasional atau 20% kursi DPR. Dan (penjajakan) koalisi Gerindra jatuh pada Golkar.

Andai kata perolehan suara Gerindra memadai tentu lebih enak untuk bermanuver, katakanlah gandeng tokoh aktivis HAM sebagai cawapres Prabowo. Komposisi duet begini untuk menutupi kelemahan Prabowo. Namun apa mau dikata perolehan suara Gerindra jauh dari harapan.

Menduetkan tokoh Orba penuh masalah demikian akan makin menyulitkan Prabowo untuk menang. Dalam masa kampanye akan sangat banyak serangan mematikan lawan-lawan politik yang mengarah langsung ke jantung duet ini. Hasilnya, bukan mustahil pilpres jadi satu putaran untuk kemenangan mutlak Jokowi dan pasangannya.

Penjajakan koalisi pilpres 2014 memang nampak jauh lebih alot dibandingkan dengan pilpres 2004 dan 2009 lalu. Dalam hubungan ini, andai saja ketokohan Prabowo kuat tentu akan "menyedot" parpol-parpol lain untuk bergabung dalam barisannya. Kenyataannya tidak demikian.

Berbeda dengan SBY dalam pemilu 2004 dan 2009. Sekalipun perolehan suara Demokrat tak memadai untuk nyapres sendiri tanpa koalisi, namun ketokohan SBY mampu "menyedot" partai-partai lain untuk bergabung, terlepas siapapun cawapres yang ditunjuk SBY. SBY tak terbebani untuk menunjuk siapapun cawapresnya.

Ketokohan Prabowo jauh sekali dibandingkan SBY. Tanpa tawar-menawar posisi cawapres, parpol lain jelas enggan untuk bergabung dengan Gerindra. Inilah yang sekarang tengah terjadi dalam pembicaraan rencana koalisi Gerindra-Golkar.

Semesta dan isyarat langit nampaknya tidak memihak pada Prabowo. Tokoh ini banyak masalah dan sangat berat untuk diangkat. Padahal, syarat penting untuk menang dalam sistem pilpres langsung adalah, si tokoh mesti "ringan" untuk diangkat, gampang "dijual" kepada para pemilih.

(Sutomo Paguci)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun