Salah satu indikator keberhasilan proses pem-belajaran ditentukan oleh seberapa besar kualitas proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Selama ini, se-bagian orang beranggapan bahwa faktor utama ke-berhasilan pendidikan terletak pada sarana dan parasarana pendidikan yang berkualitas. sehingga beberapa diantara mereka lebih memprioritaskan pembangunan aspek fisik pen-didikan, seperti pembangunan gedung sekolah yang mewah dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang lengkap sebagai langkah pengembangan mutu pen-didikan. Asumsi mereka, pendidikan tidak akan berjalan tanpa kesemua hal tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang ditunjang dengan ke-lengkapan sarana dan pra-sarana pembelajaran yang memadai, serta kondisi belajar yang kondusif adalah bukan menjadi satu-satunya faktor yang memicu terciptanya pembelajaran yang bermutu, akan tetapi, tanpa ditunjang oleh kompetensi guru dan respon positif peserta didik sebagai subjek (pelaku) utama kegiatan pembelajaran, tentu-nya hal yang pertama tersebut akan menjadi tidak berarti.
Apabila membanding-kan peran dari kedua pelaku kegiatan pembelajaran di atas, tentunya guru memegang peran paling utama dalam me-ngarahkan kemudi sebuah kegiatan pembelajaran. Arti-nya, bahwa bentuk dan hasil pembelajaran yang akan di-lakukan dan dicapai oleh peserta didik tergantung se-penuhnya pada guru, sehingga baik dan buruknya perjalanan sebuah kegiatan pembelajaran, secara garis besar ada di tangan guru.
Mengingat begitu pentingnya peran seorang pendidik dalam menciptakan kondisi belajar yang berkualitas, maka sangat di-tuntut kemampu-an guru dalam merancang dan melaksanakan sebuah desain atau skenario pembelajaran yang tidak hanya me-nyampaikan atau membelajar-kan materi kepada peserta didik, akan tetapi sekaligus me-ransang respon siswa untuk terlibat aktif dalam me-ngembangkan pola pikir mereka dalam belajar. Se-hingga pada akhirnya me-munculkan pemahaman yang mendalam kepada peserta didik akibat dampak dari kebermaknaan yang mereka peroleh dari kegiatan pem-belajaran.
Berbagai pendekatan pembelajaran yang dewasa ini banyak dikembangkan, dapat menjadi alternatif bagi para pendidik untuk diambil sebagai pilihan desain pembelajaran yang akan dilakukan, yang intinya membelajaraktifkan para peserta didik sesuai harapan dan sasaran pen-didikan kontemporer. Salah satunya adalah kegiatan belajar mengajar yang berorientasi pada Contextual Teaching and Learning (CTL) yang mem-punyai tujuh pilar yaitu: (1) Inkuiri (inquiry); (2) bertanya (questioning); (3) konstruk-tivisme (constructivism); (4) masyarakat belajar (learning community); (5) penilaian au-tentik (autentic assesment); (6) refleksi (reflection); dan (7) pemodelan (modelling).
Pada upaya pengem-bangan model dan strategi pembelajaran, prinsip-prinsip CTL banyak memberikan sumbangan terhadap pengem-bangan model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning/CL) dan model pe-ngajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instructions /PBI). Hal ini disebabkan karena prinsip-prinsip CTL ini temyata sangat terkait erat dengan teori konstruktivis. Di samping itu, salah satu pilar CTL tentang pemodelan memberikan sumbangan ter-hadap model pengajaran langsung (Direct Instructions/ DI). Demikian pula dengan aplikasi prinsip CTL lainnya tercermin pada strategi pembelajaran (Learning Strategy / LS) (Faiq. 2009).
Persoalan yang ber-kembang kemudian adalah sejauhmana kesiapan dan ke-mauan para pendidik dalam mengimplementasikan pen-dekatan tersebut dalam aktifitas pembelajaran yang mereka lakukan. Sebab tak jarang diantara para pendidik, terdapat anutan paradigma lama yang berpegang teguh pada pemahaman guru sebagai pengajar. Artinya, bahwa guru menjadi sumber segala pe-ngetahuan yang akan diterima dan diketahui oleh peserta didik (Teacing Center). Paradigma tersebut diatas telah diyakini merupakan ciri guru konvensional yang berat untuk menerima perubahan.
Salah satu faktor penyebab ketidaksiapan dan atau ketidakmauan para guru konvensional untuk me-nerapkan model-model pem-belajaran kontemporer adalah kurangnya pengetahuan dan pengalaman guru tentang teknis pendekatan belajar tersebut. akibatnya, mereka tidak cukup confidence untuk memulai menerapkan pen-dekatan tersebut di dalam aktifitas pembelajaran mereka. Sebaliknya, untuk menutupi kekurangan tersebut, di-munculkanlah seribu satu dalih yang makin memperberat usaha mereka untuk memulai. Misalnya saja, alasan mem-butuhkan banyak waktu, siswa akan ribut dan sulit diatur, tidak ada keseriusan atau terlalu santai dan main-main, dan berbagai alasan lainnya, yang pada akhirnya meng-giring mereka pada pilihan metode ceramah monoton sebagai metode populer.
Perlu ditekankan bahwa, kegiatan mengajar bukanlah sekedar kegiatan mengingat fakta untuk mempersiapkan peserta didik mengikuti dan melulusi kegiatan evaluasi yang akan dilakukan di akhir pem-belajaran. Akan tetapi, ke-giatan mengajar juga di-harapkan mampu memperluas wawasan pengetahuan, me-ningkatkan keterampilan, dan menumbuhkan sejumlah sikap positif yang direfleksikan peserta didik melalui cara berpikir dan cara bertindak atau berperilaku sebagai dampak hasil belajamya. Oleh karena itu cara guru mengajar perlu diubah. Ditinjau dari esensi proses pem-belajarannya, perlu adanya pengubahan paradigma “mengajar” (teaching) menjadi “membelajarkan” (learning how to learn) sehingga proses belajarnya cenderung dinamis dan bersifat praktis dan analitis dalam dua dimensi yaitu pengembangan proses eksplorasi dan proses kreativitas. Proses eksplorasi menjadi titik pijak untuk menggali pengalaman dan penghayatan khas peserta didik, bukan dari pihak luar, bukan dari apa yang dimaui orang tua, guru, maupun masyarakat bahkan peme-rintah sekalipun. Dari proses tersebut dikembangkan pra-karsa untuk bereksperimen-kreatif, berimajinasi-kreatif dengan metode belajar yang memungkinkan peserta didik untuk melatih inisiatif berpikir, mentradisikan aktivitas kreatif, mengembangkan kemerdekaan berpikir, mengeluarkan ide, menumbuhkan kenikmatan bekerjasama, memecahkan masalah-masalah hidup dan kehidupan nyata. Karena itu, dalam proses pembelajaran seharusnya tampak dalam bentuk kegiatan prakarsa bebas (independent study), komunikasi dialogis antar peserta didik maupun antara peserta didik dan guru, spontanitas kreatif, yang kadang-kadang terkesan kurang tertib menurut pandangan pendidikan. Guru perlu menyediakan beragam kegiatan pembelajaran yang berimplikasi pada beragamnya pengalaman belajar supaya peserta didik mampu mengembangkan kompetensi setelah menerapkan pe-mahaman dan pengetahuan-nya. Untuk itu strategi belajar aktif melalui multi ragam metode sangat sesuai untuk digunakan ketika akan menerapkan KTSP.
Dalam paradigma pen-didikan saat ini guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar, tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar yaitu relasi dan aktualisasi sifat-sifat uluhiah manusia dengan cara aktualisasi potensi-potensi manusia untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Dengan demikian seorang pendidik dituntut untuk bisa memainkan peranan dan fungsinya dalam men-jalankan tugas keguruannya secara proporsional disamping harus menjalankan tugas dan fungsinya yang lain sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan tugas serta fungsi lainnya.
Tentu tidak semudah membalik telapak tangan untuk mengubah sebuah perilaku yang telah mengakar dan mendarah daging pada diri seseorang, apalagi terhadap prilaku yang telah berlangsung lama dan bahkan telah menjadi sebuah budaya hidup, walau-pun jelas-jelas lingkungan tempat mereka berada, me-ngakui bahwa kebiasaan mereka tersebut merupakan sebuah hal yang sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Oleh karena itu, sangat di-butuhkan motivator-motivator dan fasilitator-fasilitator untuk lebih menggiatkan upaya transisi tersebut, transisi dari pemahaman konservatif ke kontemporer, transisi dari guru konvensional ke guru pro-fesional, atau transisi dari paradigma lama guru ke paradigma baru. Dalam hal ini, program DBE3 telah banyak berperan dalam fungsi tersebut.
Kehadiran program DBE3 di beberapa daerah diharapkan dapat menjadi mediator transisi paradigma guru. Bentuk pelatihan-pelatihan DBE3 yang di desain dengan pola penyajian teori dan praktik adalah pada intinya memberikan pengetahuan dan pemahaman mendalam kepada para peserta pelatihan (guru) tentang bagaimana bentuk dan teknis penerapan pendekatan pengajaran profesional dan pembelajaran bermakna (mis: CTL). Hal ini, secara tidak langsung ataupun tidak langsung diharapkan dapat menutupi kekurangan-kekurangan guru selama ini.
Apresiasi positif yang dilontarkan oleh para peserta pelatihan setelah mengikuti pelatihan yang diinisiasi oleh DBE3 menjadi indikator awal adanya pergerakan paradigma guru dari zona konvensional ke zona kontemporer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H