Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

PR Transportasi dan Energi bagi Pemerintah Baru

4 Agustus 2014   15:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:28 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembangunan jalan tol/Kompasiana (Kompas.com

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi pembangunan jalan tol/Kompasiana (Kompas.com"][/caption] Bila Anda membandingkan berkendara di Indonesia dengan di Amerika Serikat (AS) tentunya sangat berbeda. Perbedaannya karena infrastruktur jalannya yang sangat memadai. Jalanan di AS lebar-lebar dan banyak sekali highway ataupun freeway yang mulus. Kendala jalan Kemacetan masih terjadi di beberapa ruas terutama menjelang jam-jam tertentu, tetapi secara umum boleh dikatakan lancar. Ini tentu berbeda jauh dengan kondisi di Tanah Air yang hampir setiap saat dihantui kemacetan yang luar biasa. Apalagi jumlah sepeda motor, bukan hanya di kota besar, tetapi juga sampai di jalan-jalan kampung, yang sudah mendominasi jalanan dan dikemudikan tanpa aturan sama sekali. Ironisnya banyak pengendara sepeda motor tidak memiliki SIM, masih di bawah umur dan berkendara lebih dari dua orang. Kasus transportasi ini adalah satu pembelajaran pemerintahan baru Indonesia yang vital. Pembangunan infrastruktur jalan, kereta api dan tol laut merupakan satu keniscayaan. Kalau tidak segera diatasi, ekonomi biaya tinggi yang disebabkan biaya transportasi yang tidak efisien akan membebani republik tercinta ini. Bayangkan di AS jumlah kendaraan per 1.000 penduduk adalah yang terbesar di dunia, yaitu 809, dibandingkan UK 526, China 37, dan India 28. Sedangkan data untuk Indonesia meski belum jelas, tetapi secara logis kisarannya tidak jauh dari angka 30. Sementara jumlah ruas jalan di Indonesia sangat tidak memadai. Data statistik panjang jalan tol di Indonesia hanya 800 km. Ini jauh sekali dibandingkan China yang sudah punya jalan tol sepanjang hampir 200.000 km. Padahal China mulai membangun tol sekitar 10 tahun sesudah Indonesia memiliki jalan tol pertama, yaitu Jagorawi. Apalagi kalau dibandingkan dengan AS. Hal yang sering menjadi pertanyaan adalah darimana sumber dananya. Sebenarnya dana yang diperlukan pemerintah untuk membangun jalan tol tidak terlalu besar karena beban pemerintah yang utama adalah pembebasan lahan saja. Partisipasi swasta dengan konsep BOT (build, operate and transfer) mudah didapatkan. Untuk ruas tertentu di mana swasta tidak berminat, baru pemerintah turun tangan. Kesulitan membangun jalan tol pasca era pemerintahan Soeharto adalah pembangkangan oleh rakyat yang mau dipindahkan atau yang tinggal di dekat jalan tol tersebut. Contoh kasus, pembangunan jalan tol tertunda karena penduduk di kawasan yang dilalui jalan tol menolak pembangunan jalan tol dengan alasan ketenangan terganggu. Pembangunan tol tertunda cukup lama gara-gara ada penduduk yang tidak mau dipindahkan, akhirnya Pemerintah yang mengalah, terpaksa jalan tol dibuat berputar, mungkin ini satu-satunya di dunia. Juga kita masih ingat kasus pembangunan jalan tol yang sampai sekarang masih menyisakan problem, sering ditutup oleh penduduk, dengan alasan uang ganti rugi tanah belum terselesaikan. Perlu tingkat lobi yang lebih piawai dari pemerintah, dan kesadaran masyarakat guna kemajuan infrastruktur bangsa. Masalah energi Keberanian mengelola subsidi energi yang sudah tidak masuk akal, yaitu mendekati 400 triliun dari total APBN sebesar 1.800 triliun, harus berani dijalankan pemerintahan yang baru. Infrastruktur kita sudah sangat kedodoran. Harus digenjot habis-habisan dan bila perlu pemerintah meningkatkan hutang domestik untuk proyek raksasa ini. Masalah lain, adalah laju pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia, baik mobil dan khususnya sepeda motor, karena proses kredit yang demikian mudah, bahkan pembeli kredit lebih diutamakan (dapat barang lebih dulu) daripada pembeli tunai. Mungkin teori ekonomi mana pun sulit menjabarkan hal ini. Dampak laju pertumbuhan kendaraan bermotor akan makin menggerogoti keuangan pemerintah karena masih adanya subsidi BBM. Apakah pemerintah baru berani mengambil tindakan nonpopulis dengan menghapus subsidi BBM agar rakyat menjual kendaraannya dan kembali naik kendaraan umum? Tentunya upaya ini harus dibarengi dengan kesigapan pemerintah membenahi transportasi umum, antarkota maupun di dalam kota. Kebijakan sejenis ERP dan biaya parkir mahal tentunya akan membuat masyarakat berpikir dua kali sebelum mengeluarkan kendaraan dari garasinya. Pekerjaan rumah lainnya adalah perbaikan layanan disertai peningkatan suplai energi listrik, karena masih seringnya pemadaman listrik, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Masih banyak turunan dari pekerjaan rumah di atas yang harus dikaji secara runut karena kerumitan sistem transportasi dan energi di Indonesia memang sudah sedemikian menggurita. Di tangan pemerintah yang jujur, insya Allah Indonesia siap menyambut puncak demografic dividend di tahun 2025.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun